Prancis Incar Pajak Lebih Besar dari Sawit Indonesia?

Prancis Incar Pajak Lebih Besar dari Sawit Indonesia?

Yulida Medistiara - detikFinance
Kamis, 24 Nov 2016 21:31 WIB
Foto: Febri Angga Palguna
Jakarta - Parlemen Prancis membatalkan pemberlakuan pajak impor progresif sawit untuk CPO Indonesia. Namun, pembatalan itu tak lantas ditanggapi positif oleh pengusaha Indonesia. Mereka khawatir, pembatalan itu merupakan salah satu cara untuk memajaki CPO (Crude Palm Oil) Indonesia dengan tarif lebih tinggi.

Prancis memiliki komoditas utama minyak nabati seperti minyak bunga matahari dan minyak kanola yang bersaing dengan CPO. Atas dasar itu, pemerintah Prancis berusaha memproteksi minyak nabati mereka dari serbuan ekspor CPO asal Indonesia dan Malaysia.

Bentuk proteksi itu misalnya dengan memajaki CPO dengan tarif mahal. Misalnya ketika pada awal November lalu Prancis membatalkan pajak progresif, saat ini ingin menerapkan super tax dengan tarif 30% dari pajak yang ada saat ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau mereka menerapkan super tax itu, berarti harga ekspor Indonesia menjadi mahal, tidak kompetitif dengan minyak nabati yang lain," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Kordinator bidang Perekonomian, Lukita Dinarsyah Tuwo, di Westin Hotel dan Resort, Nusa Dua, Bali, Kamis (24/11/2016).

Ia mengatakan, ekspor Indonesia ke Prancis berjumlah kecil, tetapi merupakan motor Uni Eropa. Ia berharap agar yang dilakukan Prancis tidak diikuti oleh negara lain agar tidak memajaki dengan tarif lebih tinggi.

"Jangan sampai apa yang dilakukan Prancis kemudian menyebar ke negara yang lain," ungkapnya.

"Mereka akan menerapkan super tax 30% minimal dari kondisi sekarang. Artinya kalau itu terjadi tentu kita berusaha menahan agar itu tidak diterapkan. Jadi, sekarang masih dengan pajak yang normal, kita masih bisa masuk. Tapi kalau itu diterapkan, harga kita jadi naik 30%. Nanti kalau dengan minyak nabati lainnya, misalnya soybean oil, bunga matahari oil, dan lainnya," imbuhnya.

Oleh karena itu, pemerintah mencoba meyakini negara lain jika hasil produksi Indonesia lebih berkelanjutan. Ia mengatakan saat ini Indonesia mencoba memperluas pasar baru seperti ke India, Pakistan, dan China.

"Makanya kita coba untuk meyakinkan kalau kita punya palm oil yang sustainable. Kita juga mencoba memperluas pasar, secara garis besar memang Uni Eropa masih besar. Kalau Prancisnya kecil tapi yang besar itu adalah Belanda. Makanya kita coba perluas pasar kita ke India, Pakistan, China," ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Togar Sitanggang dalam kesempatan yang sama berharap agar negara Eropa lainnya tidak mengikuti Prancis. Hal itu karena membuat margin Indonesia bisa berkurang dari yang seharusnya dapat mengekspor 10 tetapi misalnya hanya dapat mengirim 2 saja.

"Ini kan Prancis, lalu temannya itu Belgia, Italia, Spanyol, dan negara lain di Eropa. Kalau ini sudah mulai, bisa menjalar ke yang lain. Mungkin, Italia atau Spanyol akan membuat pajak yang sama. Akhirnya apa? Yang tadinya kita bisa sekitar 10% saja, ke Eropa bisa ke-9. Walau kita tetap ke-10 tapi harus mengorbankan margin," kata Togar.

"Prancis akan terus mencari celah (untuk mengenakan pajak ke CPO Indonesia). Ini bukan sekedar besaran pajak saja," imbuhnya.

Menurutnya pajak tersebut mulai dari pajak 300 euro kemudian saat ini bio-diversifikasi pajak.

"Yang saya dengar sedang mengajukan lagi. Meski sudah dihapus tarif progresif tapi mereka tengah menyiapkan strategi baru dari pintu yang berbeda, dari jendela yang berbeda, dari angle yang berbeda tapi intinya sama, memajakkan lagi, minyak sawit lagi," imbuhnya.

Sebelumnya, pajak progresif dikenakan sebesar 300 euro per ton pada 2017, 500 euro per ton tahun 2018, 700 euro per ton tahun 2019 dan 900 euro per ton tahun 2020. Namun melalui negosiasi, pengenaan pajak progresif menjadi 30 euro per ton pada tahun 2017, 50 euro per ton tahun 2018, 70 euro per ton tahun 2019 dan 90 euro per ton tahun 2020. Akhirnya, pajak progresif ini dihapuskan.

Setelah enam bulan penerapan Undang-Undang Biodiversity pada 1 Januari 2017, pemerintah Prancis akan menyusun kebijakan fiskal yang lebih sederhana dan harmonis. Kebijakan ini dibuat bersifat non diskriminatif dengan mencakup seluruh jenis minyak nabati yang beredar di Prancis dan mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan.

Untuk CPO dan turunannya, volume ekspor Indonesia ke dunia sekitar 21-22 juta ton, ke Uni Eropa sekitar 3,4-4 juta ton, sedangkan ke Prancis sekitar 50 ribu-150 ribu ton per tahun. Sementara itu, produksi CPO dan turunannya di Indonesia mencapai 32,5 juta ton pada tahun 2015 atau naik 3 persen dibandingkan total produksi tahun 2014 sebesar 31,5 juta ton. (dna/dna)

Hide Ads