Namun saat ini kondisinya berbalik 180 derajat. Jumlah pabrik gula terus menyusut, produksi gula pun anjlok, dan saat ini Indonesia rutin mengimpor gula konsumsi rata-rata 1 juta ton per tahun.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Sumitro Samadikun, megnungkapkan Belanda saat itu membangun setidaknya 179 PG yang banyak tersebar di Pulau Jawa. Namun seiring berjalannya waktu, PG-PG peninggalan kolonial yang diwariskan ke sejumlah BUMN perkebunan harus gulung tikar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengaku tak habis pikir bagaimana pemerintah selama puluhan tahun tak membangun pabrik-pabrik baru untuk mengganti mesin-mesin peninggalan dari zaman Belanda tersebut.
"Kalau swasta saja bisa bangun pabrik baru yang mesinnya lebih efisien, swasta bisa pinjam ke bank, kenapa BUMN tidak bisa. Ada berita 11 PG mau ditutup, apa itu pabriknya yang memang buruk atau manajemennya yang buruk, atau dua-duanya," ungkap Sumitro.
Dia mengungkapkan, alasan banyak PG yang tutup lantaran luas lahan petani tebu yang semakin menyusut diakui memang benar. Namun konversi lahan tebu yang terus menerus juga terjadi lantaran pabrik gula tidak bisa memberikan rendemen yang rendah, imbasnya pendapatan petani juga rendah.
Bahkan lanjutnya, pemerintah tak perlu mencari lahan baru di luar Jawa untuk mencapai swasembada gula. Jika rendemen di tingkatkan hingga 10, dari saat ini dimana PG milik BUMN hanya kisaran 6 dan 7, Indonesia bisa langsung swasembada gula.
"Sekarang dengan luas lahan 450.000 hektar, produksi gula nasional 2,2 juta ton per tahun, itu produksi gulanya per hektar 4,8 ton atau 5 ton. Kalau rendemen bisa 10 karena pabriknya baru, produksi per hektar bisa 10 ton gula. Artinya dengan luas lahan 450.000 hektar, produksi gula Indonesia bisa 4,5 juta ton. Sudah swasembada itu," ucap Sumitro.
"Jadi alasannya kalau mau swasembada gula harus perluas lahan di luar Jawa, atau pakai hutan milik Perhutani di Jawa. Kenapa tidak pakai saja lahan yang sudah ada 450.000 hektar, tapi pabriknya itu dibangun baru, satu pabrik Rp 1 triliun atau Rp 2 triliun," tambahnya. (idr/ang)