Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menjelaskan turunnya sejumlah sektor memang tak bisa jadi tolak ukur daya beli masyarakat secara umum tengah melorot. Sektor penjualan kendaraan bermotor contohnya, masih mengalami pertumbuhan hingga Juli 2017.
"Daya beli masyarakat tak bisa dikatakan turun, indikatornya bisa dilihat dari penjualan otomotif yang masih bisa tumbuh, meski naiknya tipis," kata Josua kepada detikFinance, Senin (21/8/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Roda empat harganya semakin bersaing. DP sendiri bahkan hampir sama dengan DP motor, mobil jenis LCGC semakin terjangkau, selain itu hemat bensin. Kemudian pemerintah juga banyak bangun jalan tol, secara natural ini mendorong penjualan mobil yang harganya di bawah Rp 200 juta," terang Josua.
Data yang dirilis Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil domestik pada Januari 2017 yakni 86.324 unit, kemudian berturut-turut pada Februari 95.159 unit, Maret 102.336 unit, April 89.623 unit, Mei 94.091 unit, Juni 66.370 unit, dan Juli 84.905 unit.
Sementara jika dibandingkan dengan data periode yang sama tahun 2016 yakni penjualan pada Januari sebesar 85.002 unit, Februari 88.208 unit, Maret 94.092 unit, April 84.770 unit, Mei 88.567 unit, Juni 91.448 unit, dan Juli 61.891 unit.
Untuk penjualan motor, juga mengalami peningkatan. Data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) menunjukan penjualan roda dua pada 2017 meliputi Januari 473.879 unit, Februari 453.762 unit, Maret 473.896 unit, April 388.045 unit, Mei 531.496 unit, Juni 379.467 unit, dan Juli 538.176 unit.
Sebagai perbandingan, penjualan motor pada periode yang sama di tahun 2016 yakni pada Januari 416.263 unit, Februari 524.864 unit, Maret 563.341 unit, April 478.036 unit, Mei 461.506 unit, Juni 518.878 unit, dan Juli 305.153 unit.
Dia menuturkan, indikator lainnya terkait daya beli masyarakat yang masih stabil, yakni masih tingginya penjualan pada restoran dan okupansi hotel. Kedua sektor itu selama ini jadi salah satu tolak ukur utama naik turunnya daya beli masyarakat.
"Hotel dan restoran masih meningkat, saya kira ini tak menunjukkan daya beli turun. Sebenarnya kalau di-breakdown dan lebih fair lagi, pendapatan riil masyarakat sebenarnya juga malah naik, bukan hanya dari sisi konsumsi saja. Meski memang ada sektor yang melemah seperti penjualan properti, transportasi, dan telekomunikasi," ujar Josua.
Dia kemudian menyoroti sektor ritel yang belakangan ini kurang bergairah karena penjualannya sepi. Hal itu, katanya, bukan karena daya beli yang melemah, melainkan karena didorong perubahan pola konsumsi masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah.
"Ritel jadi salah satu yang turun. Itu karena sekitar 40% penduduk yang menengah ke bawah itu ada pengalihan konsumsi. Misalnya listrik dia sebulan bayar Rp 80.000 tapi naik jadi Rp 170.000, akhirnya dia menahan konsumsinya. Dia biasanya beli baju 6 bulan sekali, karena kebutuhan dasar naik, dia belanja baju jadi setahun sekali. Ada beberapa konsumsi yang ditahan karena prioritas," ungkapnya.
Namun demikian, pola perubahan konsumsi yang terjadi pada kelas menengah bawah tak sebesar pada kelas menengah dan menengah atas. "Kelompok yang 40% menengah dan 20% menengah ke atas ada perubahan pada konsumsi non leisure menurun, tapi untuk yang leisure seperti travelling malah meningkat," kata Josua. (idr/dna)