Alasannya, tak mudah budi daya tanaman kapas di Indonesia.
"Kapas kita gantungkan bahan baku ini hampir 100% impor. Di Indonesia kapas bisa tumbuh, tapi ada satu sifat yang akan mempengaruhi karakteristik maupun harga dan kualitas," kata Ade ditemui di acara Cotton Day Indonesia di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Rabu (6/9/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kapas saat ditanam harus membutuhkan banyak air terus-menerus, tapi begitu berbuah enggak boleh kena air dan hujan, sedangkan di Indonesia hujannya enggak bisa diprediksi, bisa kapan saja. Kita sudah coba di Kendari dan NTT. Itu yang sebabkan kita masih impor," tambahnya.
Diungkapkannya, selama ini banyak masyarakat Indonesia yang salah persepsi terkait kapas, salah satunya dengan kapuk. Kapas produksi lokal sendiri baru memenuhi sekitar 4% kebutuhan industri tekstil nasional.
"Kita harus bedakan kapuk dan kapas, kalau kapuk randu, kalau kapas pohonnya kecil, itu sering keliru, kok banyak randu kapuk impor. Itu (kapuk) enggak bisa dipintal karena kandungan minyaknya tinggi, seratnya beda, diameternya kasar, memang kalau dipegang halus kayak kapas," terang Ade.
Menurut dia, impor kapas Indonesia setiap tahun mencapai US$ 1 miliar. Sebagian besar berasal dari Amerika Serikat (AS), Brasil, dan Australia.
"Bukan hanya dari AS, kita juga impor dari Brasil, Australia, jadi itu impor-impor yang kita lakukan selama ini. AS menduduki peringkat kesatu tapi diambil alih Australia dan Brasil, trennya tukar menukar karena tergantung harga, masa panen, dan kualitas dari masing-masing negara," jelas Ade.