Cerita Singapura Setop Pertumbuhan Mobil Demi Cegah Macet

Cerita Singapura Setop Pertumbuhan Mobil Demi Cegah Macet

Wahyu Daniel - detikFinance
Rabu, 25 Okt 2017 07:42 WIB
Foto: (Thinkstock)
Singapura - Singapura adalah salah satu tempat termahal di dunia untuk membeli kendaraan. Negara kecil ini akan menyetop pertambahan jumlah mobil pribadi setidaknya dalam waktu dua tahun. Ini langkah yang tidak biasa dilakukan oleh negara di Asia.

Pertumbuhan kendaraan, baik motor atau mobil, di Singapura akan disetop setelah pada Februari 2017 lalu pertumbuhan kendaraan pribadi mencapai 0,25% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Saat ini Singapura tengah berinvestasi miliaran dolar AS untuk memperluas jaringan transportasi publiknya.

Dilansir dari AFP, Rabu (25/10/2017), aturan penghentian pertumbuhan kendaraan ini akan dikaji kembali di 2020 nanti. Padahal saat ini, Singapura yang berpenduduk 5,6 juta jiwa, telah mengontrol ketat kepemilikan kendaraan, yang membantunya mencegah terjadinya kemacetan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kontrol kepemilikan kendaraan di Singapura dilakukan dengan mewajibkan pembeli mobil membeli sertifikat untuk 10 tahun. Aturan ini membuat harga rata-rata mobil sedan di Singapura adalah SGD 110.000 (US$ 80.000), atau empat kali lebih mahal dari harga di Amerika Serikat (AS).

Tapi meskipun ada acara ini, masih banyak orang yang berani membayar mahal untuk memiliki kendaraan sendiri. Data di 2016, ada lebih dari 600.000 mobil pribadi yang terdapat di Singapura.

Singapura menjadi sedikit dari negara di Asia yang ketat mengontrol kepemilikan mobil dan motor, untuk mencegah terjadinya kemacetan.

Langkah Singapura berbeda dengan negara tetangganya, Indonesia dan Malaysia. AFP menilai, kedua negara ini mengalami masalah kemacetan serius, dengan sistem transportasi yang masih buruk, sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan. Selain itu kepemilikan mobil pribadi mencerminkan simbol status.

Demikian juga di Manila, Filipina. Japan International Cooperation Agency (JICA) memperkirakan kerugian ekonomi akibat macet di Manila setara 4% dari Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) di negara tersebut.

Kembali ke Singapura, tidak semua warganya bisa menerima aturan penghentian pertumbuhan kendaraan pribadi tersebut.

Beberapa warga Singapura berpendapat, perlu adanya perbaikan sistem transportasi publik, setelah beberapa kejadian yang mendera transportasi MRT di negara itu.

Namun menurut Song Seng Wun, Wkonom CIMB Private Banking yang berbasis di Singapura, menilai aturan tersebut masuk akal, karena keterbatasan lahan di Singapura untuk memperluas infrastruktur jalan.

"Singapura telah melakukan reklamasi yang bisa dilakukan tanpa berlanjut lebih jauh ke laut dalam atau ke teritori yang dilarang," kata Song.

"Ini (Singapura) memang bukan tempat termurah untuk hidup dan kerja, namun kualitas hidup di sini bisa dilihat," imbuh Song.

Dalam pernyataannya Senin awal pekan ini, otoritas lahan transportasi Singapura mengatakan, 12% dari total lahan di Singapura telah digunakan untuk infrastruktur jalan.

Pemerintah Singapura berencana membelanjakan SGD 28 miliar atau sekitar Rp 280 triliun dalam lima tahun ke depan untuk memperbaiki dan memperluas transportasi publik. Negara ini memiliki sistem transportasi publik yang efisien, mereka memiliki bus, kereta, hingga metro. (dnl/ang)

Hide Ads