Jakarta -
Produsen tekstil Indonesia PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) yang tergabung dalam Grup Duniatex dikabarkan berpotensi gagal bayar utang obligasi.
Kabar tersebut bermula dari rilis lembaga pemeringkat global, Standard & Poors (S&P;) yang memangkas habis peringkat utang jangka panjang DMDT. Di dalamnya termasuk surat utang unsecured notes yang diterbitkan perusahaan dari BB- menjadi CCC-, atau diturunkan enam notch. Fitch Rating juga telah lebih dulu menurunkan peringkat DMDT dari BB- ke B-.
Peringkat 'CCC' diberikan ketika penerbit obligasi rentan terhadap resiko wanprestasi, dan besar kemungkinan kesulitan untuk memenuhi pembayaran komitmen keuangan atau membayar biaya kupon obligasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai informasi, DMDT merupakan perusahaan di bawah naungan Grup Duniatex milik Keluarga Sumitro.
Lantas bagaimana fakta selengkapnya? Simak berita selanjutnya.
Dalam rilis S&P; tanggal 16 Juli, disebutkan bahwa dipangkasnya peringkat DMDT karena perusahaan menghadapi tantangan likuiditas yang besar, yang juga sedang dialami Grup Duniatex.
Hal ini terlihat dari terlewatnya pembayaran kewajiban atas kredit sindikasi senilai US$ 260 juta sekitar dua minggu lalu oleh PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST).
S&P; menegaskan bahwa kondisi kesulitan keuangan yang membayangi Grup Duniatex dan DSST akan berdampak negatif pada operasional DMDT. Pasalnya, DDST merupakan anak usaha yang bergerak di bidang pemintalan dan merupakan pemasok utama untuk DMDT
S&P; juga memberi prospek negatif pada DMDT. Itu karena perusahaan berpotensi menghadapi kesulitan untuk memenuhi kewajiban utang kredit sindikasi. Nilainya US$ 5 juta yang akan jatuh tempo pada September 2019.
Selain itu, dalam laporannya, tertulis bahwa perang dagang merupakan salah satu faktor penyebab kesulitan yang dialami oleh industri tekstil Indonesia, meskipun memang data kinerja industri tekstil kuartal II-2019 belum rilis.
Direktur Manajemen Risiko BNI Bob Tyasika Ananta mengungkapkan kredit sebesar Rp 459 miliar mengalir ke anak usaha Duniatex. Komposisi pinjaman terdiri dari Rp 301 miliar kredit sindikasi dan Rp 158 miliar kredit bilateral.
Bob mengungkapkan, tenor atau jangka waktu pembayaran Duniatex harus dilakukan pada Juni 2019. Dia menjelaskan cicilan kredit masih normal dilakukan oleh Duniatex dan masuk dalam kategori kolektabilitas satu.
"Dengan adanya kejadian ini, BNI sudah mengantisipasi pembayarannya akan seperti apa pada Juli 2019," kata Bob di Gedung BNI, kemarin.
Menurut Bob, langkah ini dilakukan karena BNi mendapatkan informasi jika anak usaha Duniatex, Delta Dunia Sandang Tekstil disebut mengalami gagal bayar pokok dan bunga surat utang global dengan total nilai US$ 11 juta.
Bob menyampaikan saat ini BNI sudah memegang aset Duniatex yang diagunkan untuk mendapatkan kredit. Menurut Bob jaminan yang dimiliki BNI nilainya mencapai 2,5 kali lipat dari total kredit yang disalurkan BNI.
"Ini kami baru saja terjadi ya. Kami sedang membicarakan dengan pemiliknya untuk mencarikan investor. Kita lihat seperti apa," kata Bob.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal memantau risiko gagal bayar utang tersebut. OJK akan mencermati dampak hal tersebut ke perbankan, yakni selaku penyalur kredit ke perusahaan di bawah naungan Grup Duniatex.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana mengatakan, segala macam risiko yang mempengaruhi perbankan akan dicermati, tak hanya sebatas pada salah satu debitur saja, dalam hal ini Duniatex.
"Ini kan risiko kredit, yang datang dari beberapa, tadi saya katakan loan at risk, kita pasti cermati beberapa debitur yang gagal bayar," kata dia di Kompleks Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (24/7/2019).
Dia menilai, apa yang terjadi terkait debitur yang terancam gagal bayar ini merupakan masalah masing-masing perusahaan, artinya tidak dapat digeneralisir.
Pihaknya juga akan melihat secara lebih mendalam mengenai utang debitur tersebut. Menurutnya perlu dicermati apakah itu nantinya bakal menjadi risiko rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL).
Dia juga menilai perbankan pasti punya cara untuk meminimalkan risiko jika debitur benar-benar gagal bayar, misalnya dengan restrukturisasi.
Halaman Selanjutnya
Halaman