Bank Dunia memberikan paparan pada awal September 2019 yang berjudul Global Economic Risks and Implications for Indonesia, di mana hal-hal yang diusulkan kepada pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia serta memperbaiki Current Account Deficit (CAD) adalah melakukan upaya peningkatan investasi atau Foreign Direct Investment (FDI).
Dalam paparan Bank Dunia tersebut, strategi yang harus dijalankan oleh pemerintah Indonesia adalah perlu memberikan kredibilitas yang dibutuhkan dalam FDI, salah satunya adalah terkait kejelasan peraturan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Chairman Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional/The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA)Silmy Karim menanggapi paparan Bank Dunia tersebut. Menurutnya, usulan dari Bank Dunia dinilai berisiko khususnya bagi industri dasar seperti baja dan petrokimia.
"Hal-hal yang diusulkan oleh Bank Dunia itu baik, tetapi harus memperhatikan beberapa industri yang memang masih membutuhkan dukungan dari pemerintah dalam menjaga keberlangsungan industrinya. Perwakilan dari investor yang berasal dari Korea dan Jepang, menyampaikan kekhawatirannya akan investasi yang sudah ditanamkan di Indonesia, jika pemerintah tidak menjaga industri yang sudah ada dan beroperasi di Indonesia," ujar Silmy dalam keterangannya, Sabtu (28/9/2019).
Penerapan SNI untuk produk besi dan baja sangat penting peranannya karena dapat menjadi technical barrier sebagai upaya untuk mengendalikan importasi dan untuk menjaga kualitas produk. Penerapan SNI untuk sektor baja harus diberlakukan secara wajib, khususnya baja untuk konstruksi karena erat kaitannya dengan keamanan dan keselamatan konsumen sehingga diperlukan perhatian khusus terhadap kualitas dari sumber bahan bakunya.
Dihimpun dari data BPS pada tahun 2018, besi dan baja tercatat sebagai komoditi impor terbesar ketiga, yaitu sebesar 6,45% dari total importasi dengan nilai US$ 10,25 miliar dan mempengaruhi defisitnya neraca perdagangan Indonesia. Bahkan untuk periode Januari hingga Juni 2019 jumlah importasi besi dan baja telah mencapai 3,2 juta ton atau meningkat sebesar 13% jika diperbandingkan dengan periode yang sama di tahun 2018 dan menjadi 10 besar komoditi impor yang masuk ke Indonesia. Salah satu faktor masih meningkatnya importasi baja hingga semester I-2019 adalah karena masih terdapatnya sisa izin impor yang terbit sebelum Peraturan Menteri Perdagangan No 110 tahun 2018 diterbitkan.
Silmy menambahkan, penerbitan izin impor melalui Pertimbangan Teknis dari Kementerian Perindustrian memiliki peranan yang penting karena hal tersebut merupakan sistem kontrol dan penyaringan terhadap izin impor dengan memperhatikan kemampuan supply produsen dalam negeri. Hal yang sama pentingnya adalah pemeriksaan dan pengawasan tata niaga impor seperti verifikasi surveyor di pelabuhan muat (pre-shipment inspection).
"Pre-shipment inspection dibutuhkan untuk memastikan kesesuaian produk baja impor dengan izin yang dikeluarkan serta penggunaannya. Sementara itu, terkait usulan penghapusan surat rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, jika masalahnya adalah terkait proses perizinan (birokrasi), maka untuk mengatasinya adalah dengan penerapan sistem IT yang baik, bukan dengan menghilangkan/menghapus fungsi Kementerian dalam melakukan pembinaan industri dalam negeri,"
"Jika hal-hal tersebut dihilangkan (surat rekomendasi dan pre-shipment inspection), impor produk baja yang masuk ke Indonesia menjadi tidak terkontrol dan tidak terpeliharanya keseimbangan antara supply dan demand," imbuh Silmy.
Indonesia rentan terhadap serbuan produk dari luar negeri, hal tersebut akan menghantam industri nasional. Penghapusan penerbitan Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia (SPPT-SNI), penerbitan izin impor, serta pengawasan dan pemeriksaan produk impor di pelabuhan muat akan semakin menurunkan tingkat utilisasi kapasitas industri baja nasional yang saat ini berada di level terendah (30-40%) dan akan berujung pada kerugian material hingga kebangkrutan. Kebijakan yang sangat mendukung industri domestik terutama industri dasar seperti baja, diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
"Dampak yang akan terjadi jika industri baja nasional mengalami kebangkrutan akan menyebabkan multiplier effect bagi seluruh industri di Indonesia. Diantaranya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, mempercepat de-industrialisasi, membesarnya defisit neraca perdagangan, menurunnya penerimaan pajak dan menurunnya minat investasi di sektor industri baja", tutup Silmy.
(ara/fdl)