Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menjelaskan, melalui PP 109/2012, pemerintah mewajibkan produsen produk tembakau untuk mencantumkan peringatan kesehatan bergambar seram sebesar 40% dari total display kemasan.
Yang membuat pengusaha cemas, kata dia saat ini Kementerian Kesehatan sedang mengusulkan untuk menaikkan komposisinya dari 40% menjadi 90% kemasan tanpa alasan kajian yang jelas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antar Lembaga, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Rachmat Hidayat mencemaskan jika kebijakan itu diperluas ke produk makanan dan minuman.
Dia menjelaskan tren tersebut adalah Slippery Slope yang mencerminkan kemungkinan perluasan aturan ke produk-produk yang dianggap merugikan kesehatan publik, seperti makanan yang mengandung Iemak, gula atau garam.
Pengusaha makanan dan minuman, khususnya produk ritel siap konsumsi, kata dia selalu menuliskan informasi kandungan gizi dan nutrisi di setiap kemasan. Anggapan produk makanan dan minuman di pasaran sebagai penyebab risiko kesehatan publik, menurutnya tidak tepat karena ada banyak sekali faktor pemicu risiko kesehatan, seperti pola hidup tidak sehat, lingkungan, sampai dengan keturunan genetis.
"Tidak bijak rasanya, jika pemerintah membatasi hak seluruh konsumen berdasarkan satu sudut pandang saja," ujarnya.
Sekretaris Umum APINDO Eddy Hussy menilai pembatasan merek dan kemasan bisa memberikan sejumlah dampak negatif.
"Tren pembatasan merek dan kemasan ini kami rasa akan sangat membatasi ruang gerak kawan-kawan pengusaha karena akan menimbulkan risiko-risiko lain, mulai dari pemboncengan reputasi, pemalsuan, produk ilegal, yang ujung-ujungnya akan merusak iklim persaingan usaha," tambahnya.
(toy/dna)