Salah satunya ialah melalui revisi regulasi impor baja yang kini tertuang Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2018 tentang ketentuan impor besi atau baja, baja paduan dan produk turunannya.
Beleid tersebut dinilai masih memberi celah bagi negara lain untuk impor tanpa membayar bea masuk. Sehingga, harganya bisa lebih murah daripada harga baja produksi dalam negeri.
"Regulasi ini merupakan haI terpenting lainnya untuk mendukung pertumbuhan industri baja yang sehat di dalam negeri," ujar Direktur Utama PT Krakatau Steel Silmy Karim dalam acara Public Expose Krakatau Steel di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Menurut Silmy, impor baja saat ini sudah menghantam industri baja nasional dari hulu hingga hilir. Kondisi ini jika diteruskan pada akhirnya bakal membuat Indonesia hanya akan menjadi konsumen pengguna baja dari luar negeri saja, dan akan semakin menekan defisit neraca perdagangan.
Pada tahun 2018 volume impor baja mencapai angka 6,3 juta ton, naik sebesar 6,7% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Selain itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018, besi dan baja tercatat menjadi komoditi impor terbesar ke-3 yaitu sebesar 6,45% dari total importasi dengan nilai US$ 10,25 miliar dan telah mengakibatkan defisitnya neraca perdagangan RI.
Sampai dengan bulan September 2019, importasi besi dan baja telah mencapai 5 juta ton dan di estimasi akan mengalami kenaikan sampai 6,7 juta ton sampai akhir 2019 (meningkat 7,5% dari total impor tahun 2018 sebesar 6,3 juta ton).
Bahkan hingga September 2019, besi dan baja masih menempati posisi 3 besar komoditi impor yang masuk ke Indonesia dengan nilai US$ 7,63 milyar.
"Bersama Kementerian BUMN, kami memberikan masukan kepada kementerian terkait agar pasar dan industri baja di Indonesia bisa lebih sehat. Industri baja dalam negeri sangat tertekan dengan kondisi impor baja di sepanjang tahun 2018-2019. Kami memerlukan kebijakan dan pengawasan yang ketat dalam hal impor baja. Telah terjadi penurunan utilisasi industri baja hingga 43% di tahun 2019," tutur Silmy.
(dna/dna)