Pemerintah perlu membuat kebijakan yang mendukung industri hasil tembakau (IHT) tanah air agar keberlangsungan usaha tetap berjalan, apalagi di tengah pandemi virus Corona seperti sekarang ini.
Kebijakan dari pemerintah akan berdampak terhadap para petani tembakau yang selama ini menggantungkan hidupnya dari IHT.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menyebut kebijakan kenaikan tarif cukai berdampak pada keberlangsungan IHT.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan kenaikan tarif cukai rokok yang cukup besar di awal tahun 2020, penjualan rokok tahun ini diprediksi menurun sekitar 15% hingga 20%. Ditambah lagi industri tembakau terhantam oleh keadaan pandemi COVID-19 karena berdampak pada penjualan rokok yang diprediksi semakin menurun hingga sekitar 30-40%," kata Henry dalam keterangannya, Jakarta, Jumat (5/6/2020).
Saat ini tanaman tembakau memasuki musim tanam yang hampir serentak di seluruh wilayah tanah air. Meskipun di tengah pandemi Corona, para petani tembakau tetap berupaya menghidupi ladangnya dengan mematuhi protokol kesehatan yang berlaku di daerahnya masing-masing.
Tembakau sendiri diketahui merupakan sumber penghasilan bagi sekitar 3 juta petani di seluruh Indonesia. Selain bergantung pada kondisi cuaca, untuk menghasilkan panen tembakau yang berkualitas juga bergantung pada eksistensi IHT sebagai penyerapnya.
Menurut Henry, keberlangsungan IHT ini sangat bergantung pada pemerintah yang menerapkan peraturan-peraturan atau kebijakan.
Akibat kebijakan ini, jumlah industri tembakau di Indonesia terus tergerus yang dapat terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Data Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mencatat jumlah pabrik rokok di Indonesia hanya tersisa 487 pabrikan pada tahun 2017 dari 1.000 pabrik rokok yang eksis pada tahun 2012. Pabrikan tersebut termasuk penghasil tiga jenis produksi hasil tembakau yang dilegalkan dalam Undang-Undang, yaitu Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Mesin (SKM).
Tren penyusutan jumlah pabrikan rokok di Indonesia merupakan imbas dari kebijakan pemerintah yang cenderung tidak mendukung keberlangsungan industri ini. Perubahan kebijakan dari tahun ke tahun juga merupakan hal lain yang menyebabkan pelaku industri tembakau sulit melakukan proyeksi masa depan bisnisnya.
Adapun, contoh lainnya terkait kebijakan simplifikasi tarif cukai dan penggabungan tarif cukai SPM dan SKM yang terus mendapatkan pertentangan oleh para pelaku industri. Jika diterapkan, kebijakan tersebut diyakini akan mematikan industri golongan kecil dan menengah. Padahal, para pabrikan rokok kecil dan menengah tersebut turut andil dalam menghidupkan perekonomian masyarakat serta pertanian tembakau di berbagai daerah di Indonesia.
Kategori kecil, menengah, dan besar pada pabrikan rokok di Indonesia tidak semata-mata menggambarkan kapasitas produksi yang dimiliki, namun juga menggambarkan jenis dan kualitas tembakau yang digunakan. Tembakau grade 1 yang disebut sebagai kualitas terbaik biasanya digunakan oleh perusahaan besar, sedangkan tembakau grade 2 dan lainnya biasanya digunakan oleh pabrikan yang lebih kecil. Masing-masing jenis dan kualitas tembakau ini biasanya juga ditanam di wilayah berbeda. Karena itu, adanya keragaman kategori industri menopang kelangsungan pertanian tembakau Indonesia berikut dengan kehidupan para petaninya.
Oleh karenanya, Henry menilai kondisi pandemi COVID-19 memberi tantangan lebih kepada IHT dan seluruh mata rantai di dalamnya. Dia menilai langkah DJBC memberikan relaksasi penundaan pembayaran pita cukai dari 60 hari menjadi 90 hari selama pandemi COVID-19 sangat membantu para industri rokok dalam mengatur cash flow. Henry juga mengapresiasi Kementerian Perindustrian yang telah memberikan bimbingan dan panduan sehingga para industri rokok tetap dapat berproduksi dengan mematuhi protokol kesehatan COVID-19.
Untuk ke depannya, Henry merekomendasikan bahwa pemerintah tidak perlu mengubah kebijakan IHT yang sudah ada saat ini untuk melindungi beragam industri tembakau yang sudah terancam gulung tikar, karena masing-masing kategori tersebut sudah memiliki pasarnya tersendiri. Selain itu, kondisi yang kian menghimpit pelaku usaha menyebabkan pabrikan rokok tidak dapat menunjang penghidupan masyarakat sekitarnya yang selama ini dilakukan berdasarkan asas gotong royong. Hal ini juga patut dipikirkan bersama.
Henry menegaskan wacana-wacana perubahan kebijakan seperti peningkatan tarif cukai rokok yang terus menerus ataupun juga penyederhanaan struktur tarif cukai dan penggabungan volume SKM dan SPM diminta agar tidak dilanjutkan.
"Kami berharap bahwa struktur tarif cukai yang mencakup 10 layer seperti saat ini tetap dipertahankan, serta tarif cukai untuk tahun 2021 tetap pada status quo dengan menggunakan aturan yang ada saat ini dan mempertimbangkan dampak pandemi COVID-19 serta tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahun ini," kata Henry.
Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmuji mengatakan kebijakan kenaikan tarif cukai rokok berdampak bagi petani tembakau. Sebab kebijakan tersebut menghimpit keberlangsungan IHT.
Agus juga berharap pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang tepat dan stabil, khususnya setelah pandemi COVID-19 ini yang dampaknya juga turut dirasakan oleh industri hasil tembakau. Diharapkan, pemerintah dapat mengakomodir seluruh pelaku industri dan juga melindungi pihak-pihak lain yang terkena dampaknya, termasuk petani tembakau. Ia menyampaikan bahwa,
"Petani tembakau merupakan pihak yang paling sengsara jika industri tembakau terus dihantam. Dengan demikian, pemerintah perlu lebih melindungi para petani tembakau dengan memperhatikan kemakmuran para petani tembakau, memastikan penggunaan tembakau hasil panen para petani lokal secara efektif, serta tidak melanjutkan agenda-agenda yang terus menekan para pelaku IHT," kata Agus.
Tidak hanya itu, Agus juga berharap kepada seluruh pihak yang terlibat dalam IHT bisa diakomodasi oleh pemerintah agar sedikit meringankan tekanan ke tembakau tanah air. Pasalnya, sebagian besar industri kecil dan menengah akan terus tergerus dan terpaksa menutup sumber pemasukan bagi berbagai entitas yang terlibat di dalam mata rantai proses produksi rokok.
(hek/das)