Jakarta -
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mulai mengawasi tingkat kepatuhan industri Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL). Hal tersebut melihat dari kinerja penerimaannya di tahun 2019.
Pada tahun 2019, penerimaan bea dan cukai tercatat sebesar Rp 213,27 triliun atau 102,14% dari target yang dipasang dalam APBN yakni sebesar Rp 208,8 triliun. Kontribusi terbesar berasal dari cukai.
Direktur Teknik dan Fasilitas Cukai Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto mengatakan realisasi penerimaan cukai mencapai Rp 173,4 triliun atau melebihi target yang ditetapkan Rp 165,5 triliun. Di mana, 96% ditopang oleh cukai Industri Hasil Tembakau (IHT).
Meski demikian, industri tembakau tak melulu soal cukai. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Generasi Anti Narkoba Indonesia (GANI) Djoddy Prasetio Widyawan mengatakan, produk ini butuh pengawasan ekstra mengingat maraknya penyalahgunaan rokok elektrik dengan menambahkan narkoba pada liquid vape.
Djoddy mengatakan, pihaknya secara aktif mengkampanyekan "Gerakan Pencegahan Penyalahgunaan Rokok Elektrik" bersama Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) sejak 2019 lalu. Djoddy menjelaskan GANI dan KABAR sudah mensosialisasikan kampanye tersebut di sejumlah kota di Indonesia, seperti Bali dan Bandung. Tujuannya agar tidak ada lagi kasus penyalahgunaan produk ini.
"GANI siap berpartisipasi aktif dalam mengampanyekan bahaya narkoba bagi seluruh lapisan masyarakat. Rokok elektrik bukan alat untuk menggunakan narkoba," tegas Djoddy.
Ia menjelaskan semakin maraknya kasus penyalahgunaan rokok elektrik mengandung narkoba salah satunya terjadi lantaran Indonesia belum memiliki regulasi khusus yang mengatur tentang produk tembakau alternatif, selain terkait cukai.
Kementerian Kesehatan selaku otoritas yang bertanggung jawab atas produk tembakau dan turunannya harus segera mengeluarkan aturan khusus rokok elektrik dan produk tembakau alternatif lainnya.
"Rokok elektrik bermanfaat bagi perokok yang ingin berhenti merokok. Bukan untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab," ungkap Djoddy.
Ia menegaskan bahwa pemerintah perlu untuk menyiapkan suatu regulasi khusus yang terpisah dari rokok.
"Ini bukan rokok sehingga aturannya harus dibedakan. Rokok elektrik justru bisa bantu mengurangi perokok. Perlu ada regulasi yang mengatur dari hulu sampai hilir, seperti bahan-bahan yang tidak boleh ditambahkan ke liquid, pengawasan, sampai pemasaran khusus untuk usia 18 tahun ke atas. Aturan ini gunanya mencegah penyalahgunaan rokok elektrik dalam bentuk apapun," tambahnya.
Djoddy mengajak seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, asosiasi, pelaku usaha, hingga masyarakat luas, turut bekerja sama dalam mencegah penyalahgunaan produk tembakau alternatif. Partisipasi dari semua pihak akan mempersempit ruang para oknum, sehingga produk ini dapat dimaksimalkan sebagai solusi alternatif bagi perokok dewasa untuk berhenti merokok.
Mitra GANI dalam Gerakan Pencegahan Penyalahgunaan Rokok Elektrik, KABAR, mengutarakan usulan serupa. Ketua KABAR sekaligus Pengamat Hukum, Ariyo Bimmo, menambahkan pemerintah mesti bergerak cepat membentuk regulasi khusus. Sebab, pemerintah memiliki peran krusial untuk menyelesaikan masalah ini. Ariyo berharap pemerintah segera membentuk regulasi khusus untuk yang dibedakan dari rokok.
"Dengan adanya regulasi khusus, akan mempermudah pemerintah dalam melakukan pengawasan penggunaan, memberikan kepastian bagi pelaku usaha, serta rasa aman bagi konsumen. Untuk pembentukan regulasi rokok elektrik, KABAR terbuka untuk berdiskusi dan siap terlibat di dalamnya," pungkas Ariyo.