Kenaikan cukai rokok rata-rata 12,5% pada tahun depan menjadi alarm bagi buruh pabrik rokok. Sebab, kondisi itu amat berat buat industri hasil tembakau yang kini sedang dihantui oleh pandemi COVID-19 dan beban kenaikan cukai awal tahun ini. Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun mengintai.
"Bisa jadi (terjadi PHK) walaupun selama ini kami dari industri rokok itu sangat-sangat mencegah bagaimana caranya supaya tidak terjadi PHK," kata Ketua Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar saat dihubungi detikcom, Kamis (10/12/2020).
Beruntungnya sejauh ini PHK dapat dicegah di industri rokok meskipun merebaknya virus Corona menggoyang perekonomian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Alhamdulillahnya dalam masa pandemi ini kami tidak ada terjadi PHK. Kalau seandainya ada PHK itu karena pensiun, normal lah seperti itu," sebutnya.
Lantas, atas kenaikan cukai tahun depan masih mampukah pengusaha rokok menahan diri untuk tidak melakukan pemutusan hubungan kerja?
"Memang kami sangat berusaha untuk masalah itu jangan sampai kami ini mempersulit buruh-buruh, maksudnya jangan sampai buruh itu nggak punya pekerjaan walaupun bagi kami itu sangat berat sekali," jelasnya.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan pada kesempatan terpisah mengatakan kenaikan cukai rokok di tengah pandemi COVID-19 tidaklah wajar.
"Tidak wajar sebab kinerja industri sedang turun akibat pelemahan daya beli karena ada pandemi dan kenaikan cukai sangat tinggi di tahun 2020 kemarin. Apalagi saat ini angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi masih minus," kata dia melalui keterangan tertulis.
Menurutnya, di masa pandemi ini relaksasi lebih dibutuhkan oleh industri sebagaimana diberlakukan pada rokok jenis SKT, dibanding kenaikan tarif cukai yang dibebankan pada jenis SKM dan SPM.