RI Kebanjiran Pakaian Bayi-Baju Muslim China, Ini Biang Keroknya

RI Kebanjiran Pakaian Bayi-Baju Muslim China, Ini Biang Keroknya

Soraya Novika - detikFinance
Kamis, 22 Apr 2021 13:49 WIB
Pada tahun 90-an produksi kain tenun di Kecamatan Majalaya, Ibun dan Paseh, Kabupaten Bandung, berkembang pesat. Kini kejayaan prodak tekstil Majalaya kian hari kian meredup.
Ilustrasi/Foto: Wisma Putra
Jakarta -

Indonesia beberapa tahun terakhir terus mengalami tren peningkatan impor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang cukup signifikan. Mulai tahun 2015, Indonesia mengimpor hingga US$ 7,98 miliar TPT dari berbagai negara. Angka itu perlahan naik pada 2016 menjadi US$ 8,16 miliar dan 2017 menjadi US$ 8,80 miliar.

Lalu, lonjakan terjadi pada tahun 2018 menjadi US$ 10,02 miliar. Kemudian turun tipis menjadi US$ 9,38 miliar pada 2019, dan menjadi US$ 7,20 miliar pada 2020, namun ekspornya juga mengalami perlambatan.

Pada 2019, ekspor TPT Indonesia turun dari US$ 13,22 miliar menjadi US$ 12,83 miliar, dan turun lebih dalam di 2020 menjadi US$ 10,55 miliar. Perlambatan pertumbuhan ini terus berlanjut sampai kuartal I-2021.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bila dilihat lebih rinci yaitu dari pertumbuhan nilai bulanannya, impor TPT terus mengalami peningkatan dibanding ekspornya.

"Di sisi nilai ekspor dan impor kita kalau dibandingkan, nilai ekspor itu relatif turun, tapi nilai impornya justru mengalami peningkatan yang signifikan, kalau kita lihat data per bulan (2020) terus mengalami lonjakan," ujar Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati dalam diskusi virtual, Rabu (22/4/2021).

ADVERTISEMENT

Enny menjelaskan ada beberapa faktor meningkatnya impor TPT di Indonesia. Pertama, Indonesia yang merupakan negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dengan jumlah penduduk 270 juta jiwa menjadi target pasar tekstil berbagai negara terutama produsen TPT dunia.

Salah satunya China yang pada tahun 2019 menguasai 31,85% total ekspor TPT dunia senilai US$ 260 miliar. Maka tak heran, China juga lah yang menjadi negara yang paling banyak mengimpor TPT ke Indonesia lalu disusul oleh Thailand.

"Tren peningkatan impor yang mengalami peningkatan sangat signifikan justru di produk-produk TPT atau pakaian jadi," ungkapnya.

Pakaian jadi yang dimaksud seperti baju atasan kasual dan formal, bawahan, terusan, outwear, headwear, pakaian bayi, bahkan berbagai produk muslim juga justru banyak yang impor seperti gamis, baju koko hingga hijab.

Pemicu lain impor tekstil di halaman berikutnya.

Tonton juga Video: Pengusaha Tekstil dan Sarung Majalaya Menjerit Akibat COVID

[Gambas:Video 20detik]



Pemicu kedua, sambung Enny yang menyebabkan impor TPT meningkat adalah masalah regulasinya yang dinilai masih pro impor terutama bahan jadi.

"Misalnya di bahan baku tekstil, pemerintah memang sudah melakukan yang namanya safeguard atau pengamanan tambahan tarif, tambahan dengan pengenaan safeguard, tentu ini data mengenai pertumbuhan daya tarif investasi ke hulu meningkat karena safeguard untuk industri hulu, sementara di sisi hilirnya tidak terdapat pengamanan sama sekali bahkan untuk impor yang kita sudah meratifikasi FTA seperti dari China, Thailand, Vietnam itu nol persen," tuturnya.

Pemicu ketiga soal investasi. Pengamanan yang kurang pada sisi hilir memicu sentimen buruk pada investasi. Akhirnya, realisasi investasi pada sisi hilir atau pakaian masih rendah. Hal ini nantinya bisa menimbulkan masalah baru yaitu bisa menggerus IKM TPT sekaligus tenaga kerja di dalamnya.

"Bonus demografi Indonesia mestinya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan devisa negara melalui perlindungan pasar dalam negeri dari impor yang berlebihan. Hal ini akan memberi kepastian pasar bagi industri TPT dalam negeri, khususnya IKM, karena pasar dalam negeri merupakan pangsa pasar utama bagi IKM," imbuhnya.

Di kesempatan yang sama, Pelaku Industri Pakaian Jadi dari Pekalongan, Jateng, Andrew Muljono menceritakan tantangannya menghadapi gempuran impor. Menurutnya belakangan ini konsumsi pada TPT memang sudah mulai mengalami peningkatan dibanding 2020. Akan tetapi, peningkatan konsumsi produk TPT justru paling banyak dinikmati oleh produk TPT impor.

"Konsumsi benar naik, tidak salah, tapi yang nikmati bukan kami IKM, yang menikmati itu sebagian besar impor," kata Andrew.

Andrew sepakat dengan Enny bahwa para unit usahanya merasa pengamanan di sisi hilir masih kurang bahkan tak terasa, ini yang membuat barang impor bebas masuk ke pasar Indonesia.

"Safeguard di hulu itu sih udah, tapi di hilir di garmennya itu belum, dan saya sepakat dengan bu Enny ini terbalik, harusnya di garmennya diberikan perlindungan garmen, diberikan safeguard," imbuhnya.

Menurutnya bila dibiarkan TPT impor lancar masuk pasar Indonesia, maka akan banyak IKM yang terancam gulung tikar.

"Saat ini banyak IKM garmen, produk pakaian jadi, ini yang sudah kembang kempis, yang mungkin untuk bertahan sampai tahun depan saja itu sulit, padahal harusnya konsumsi ke depan itu membaik, harusnya IKM mendapat keuntungan," katanya.

Andrew menolak anggapan yang menyebut kualitas produk IKM kalah dengan impor. Justru, sejak ramainya orang beralih ke e-commerce para IKM pada berbenah diri.

"Online itu sensitif dengan kualitas, jadi sebenarnya dengan maraknya online, IKM kami ini dipaksa berbenah di semua hal, dari kualitas, harga dan semuanya, tapi serbuan impor ini yang masuk bukan cuma pakaian baru tapi marak juga pakaian bekas, itu cukup banyak," tuturnya.


Hide Ads