Pengusaha menepis kabar adanya kelangkaan gula rafinasi untuk industri kecil di Jawa Timur. Isu ini sendiri dilontarkan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama Jawa Timur.
Ketua Umum Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI), Benardi Dharmawan mengaku heran dengan adanya kabar tersebut. Dia menuturkan, kebutuhan gula rafinasi untuk pelaku usaha industri kecil dan menengah (IKM) telah diakomodir dengan baik. Hal tersebut juga telah dikoordinasikan melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jawa Timur.
"Produsen gula rafinasi telah memberikan solusi berupa subsidi perbedaan ongkos angkut kepada IKM dan UKM. Jadi tidak benar adanya kenaikan harga sampai dengan Rp 2,7 miliar yang dialami industri kecil dan Rp 27 miliar di industri menengah," katanya, Rabu (7/7/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia juga menambahkan, produsen AGRI juga telah memiliki beberapa gudang dengan pasokan yang cukup di Jawa Timur untuk memenuhi kebutuhan IKM dan UKM.
"Jadi kalau masih ada isu kesulitan/permasalahan gula rafinasi di Jatim itu jelas mengada-ngada saja," sambungnya.
Dalam webinar yang digelar Lakpesdam NU Jatim diungkap bawah pelaku usaha kecil dan menengah yang tersebar di Jawa Timur seperti Mojokerto, Pasuruan, Sidoarjo, para pelaku UMKM khususnya di sektor industri makanan dan minuman merasa kesulitan memperoleh gula rafinasi hingga industri mereka tertekan. Bahkan, ada yang sampai gulung tikar.
"Usaha kecil alami kenaikan biaya Rp 2,73 miliar per tahun," kata peneliti Lakpesdam PW NU Jawa Timur, Miftahus Surur.
Selain masalah kenaikan beban produksi pelaku UMKM, salah satu yang disorot adalah adanya indikasi diskriminasi terhadap pabrik gula di Jawa Timur hingga tak mendapat pasokan raw sugar sebagai bahan bakugula rafinasi imbas terbitnya Permenperin 3 tahun 2021.
Kenaikan biaya itu menurutnya dikarenakan tak ada pabrik gula yang memproduksi gula rafinasi di Jawa Timur. Sehingga, pelaku usaha UMKM harus menanggung biaya lebih mahal untuk biaya transportasi gula rafinasi dari wilayah lain seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Ia melanjutkan, ini kemungkinan dipicu karena adanya Permenperin 3/2021 yang menyebutkan pabrik gula kristal putih tak boleh memproduksi gula rafinasi. Sehingga, ia menyarankan agar Permenperin itu dihapus. Kemudian, pembagian kewenangan pabrik gula diatur berdasarkan zonasi, bukan berdasarkan jenis izin pabrik gula.
"Di setiap wilayah harusnya ada PG yang memproduksi GKR (gula rafinasi). Sehingga harus ada izin impor untuk pabrik gula di Jatim sebagai provinsi dengan industri mamin terbesar di Indonesia," jelasnya.
(acd/dna)