Badan Standardisasi Nasional (BSN) merumuskan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HTPL), termasuk rokok rokok elektrik (vape).
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dr. Agus Dwi Susanto menyebut tidak ada tenaga medis yang dilibatkan dalam menggodok kebijakan tersebut.
"Setelah dibaca di dalam putusan SNI-nya itu terlihat sekali bahwa tidak ada keterlibatan tenaga medis di dalam penentuan SNI tersebut," katanya dalam sebuah webinar, Jumat (10/9/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihaknya pun prihatin dengan keputusan SNI bagi rokok elektrik karena pihaknya menegaskan bahwa produk tersebut pada dasarnya berbahaya bagi kesehatan.
"Tentu kami sebagai dokter paru Indonesia itu sangat prihatin dengan penentuan hal tersebut karena kami dalam hal ini dari awal selalu konsisten bahwa rokok elektronik atau vape itu tetap berbahaya untuk kesehatan," tuturnya.
Kalau pun rokok elektrik mau diatur menggunakan SNI, setidaknya melibatkan praktisi-praktisi di bidang kesehatan.
"Jadi tentu pengaturannya kalau itu ada harus melibatkan praktisi-praktisi bidang kesehatan untuk bisa mengetahui itu, karena teman-teman di luar kesehatan itu tidak paham apa aspek dari bahaya rokok elektronik untuk kesehatan dan dari sisi mana dari kandungan rokok elektronik ini yang harus diperhatikan," tambah Agus.
Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan, dan Halal BSN Wahyu Purbowasito sebelumnya menjelaskan pihaknya masih melakukan penggodokan aturan SNI untuk produk HPTL seperti rokok elektrik. Dia mengungkapkan, fokus utamanya adalah standardisasi bagi cairan rokok elektrik.
"Sekarang e-liquid sedang dalam konsep. Ada juga usulan untuk chewing tobacco," katanya dalam keterangan tertulis yang dikutip detikcom, Minggu (5/9/2021).
(toy/ara)