Jakarta -
Impor gula bukanlah hal yang baru di Indonesia. Indonesia kerap melakukan impor karena tak mampu memenuhi sendiri kebutuhan di dalam negeri.
Namun begitu, Indonesia pernah menjadi produsen gula yang diakui dunia. Bahkan, Indonesia menjadi eksportir nomor dua terbesar di dunia saat masih bernama Hindia Belanda.
Hal itu dikemukakan Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara PTPN III Mohammad Abdul Ghani. Indonesia berada di bawah posisi Kuba.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tahun 1930 itu Indonesia menjadi eksportir nomor 2 seluruh dunia waktu itu, setelah Kuba," katanya dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI, Senin (20/9/2021).
Dia mengatakan, produktivitas tanaman tebu rata-rata nasional saat itu mencapai 15 ton. Namun, kini hanya sepertiganya yakni sekitar 5 ton.
Saat ini, Indonesia merupakan importir gula terbesar di dunia. Abdul Ghani mengatakan, berdasarkan proyeksi PwC kebutuhan gula nasional akan terus mengalami peningkatan.
"Kalau lihat proyeksi, kalau sekarang kita Indonesia negara terbesar importir gula, jadi ini memprihatinkan bagi kita. Dari proyeksi yang kami peroleh dari PwC menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun peningkatan terjadi karena pertambahan jumlah penduduk, terus meningkatnya kesejahteraan sehingga konsumsi per kapita juga naik," paparnya.
Indonesia mengalami pukulan yang hebat saat menjadi 'raja' gula. Indonesia terkena dampak The Great Depression atau Depresi Hebat yang melanda dunia di periode 1930.
Berikut catatan
detikcom, mengutip buku Depresi 1930-an dan Dampaknya Terhadap Hindia Belanda karya Soegijanto Padmo dari situs Jurnal Universitas Gadjah Mada. Imbas Depresi Hebat pada Tanah Air terutama di sektor perdagangan.
Indonesia yang berperan sebagai negara pengekspor komoditas primer terutama dari pertanian harus menghadapi penurunan harga yang tajam, namun juga harus tetap membayar komoditas impor dengan harga tetap.
Di Indonesia, pemerintah Belanda tetap memerintahkan agar produksi pertanian dan perkebunan ditingkatkan. Alhasil, volume ekspor pertanian melonjak di tahun 1930 jika dibandingkan tahun 1928, meski nilainya merosot tajam.
Selain Indonesia, penurunan tajam harga komoditas juga terasa ke Australia dan Hindia Barat yang juga merupakan penghasil barang primer. Seiring dengan harga komoditas yang merosot, penanaman modal atau investasi juga terhenti karena para investor memilih wait and see.
Pada tahun 1931, sistem moneter internasional yang mengatur setiap langkah pemulihan dunia usaha dan perdagangan internasional jatuh. Akibatnya, upaya berbagai negara untuk menurunkan tarif ekspor dan impor gagal ketika Amerika Serikat (AS) menolak untuk berpartisipasi.
Dampak kongkrit Depresi Hebat di Jawa dan Hindia Belanda bisa ditarik pada empat kesimpulan antara lain hancurnya harga dan permintaan komoditas internasional, masalah pengusaha tanaman khususnya karet dan gula, krisis keuangan yang disebabkan oleh berkurangnya penerimaan dan belanja pemerintah, dan terakhir dampak sosial ekonomi yakni lenyapnya kesempatan kerja, pendapatan, dan daya beli masyarakat di seluruh pelosok Tanah Air.
Penurunan kesempatan kerja di Indonesia terasa di semua sektor formal, terutama di industri perkebunan dan kegiatan perdagangan di kota pada umumnya. Lebih dari 300.000 lapangan pekerjaan di perkebunan musnah. Upah pekerja juga turun hingga 50%. Pendapatan penduduk pribumi di Jawa menurun menjadi kurang dari separuh.
Dampak Depresi Hebat pada perkebunan gula ialah cadangan yang sangat tinggi selama periode 1930-1931, namun harga merosot. Pada akhirnya pemerintah Belanda menyetujui pembatasan produksi yang tertuang dalam perjanjian internasional Chadbourne.
Akhirnya, banyak pabrik gula terpaksa tutup. Pada tahun 1933, hampir separuh pabrik di Indonesia tutup. Memasuki akhir Depresi Hebat di 1939, hanya tersisa 55 pabrik gula yang bertahan dan bisa beroperasi kembali dari total 180 pabrik yang ada di tahun 1930.
Kejayaan gula Tanah Air hanya kenangan saat ini. Dari tahun ke tahun, Indonesia masih mengimpor gula. Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Momon Rusmono mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan sampai akhir Mei 2021, dibutuhkan gula pasir impor hingga 646,9 ribu ton. Namun, itu sebatas memenuhi kebutuhan gula untuk konsumsi saja. Sedangkan, bila ditambah dengan kebutuhan akan gula rafinasi dibutuhkan sekitar 3 juta ton raw sugar impor.
Indonesia perlu impor gula karena kemampuan produksinya masih terbatas. Produksi gula konsumsi dan rafinasi dalam negeri sampai Mei 2021 baru bisa memenuhi 2,1 juta ton. Sedangkan, total kebutuhan gula sampai lebaran nanti mencapai hampir 6 juta ton artinya terjadi defisit hingga sekitar 3,9 juta ton.
"Total kebutuhannya (gula konsumsi dan rafinasi) hampir 6 juta atau sekitar 5,8 juta, kita baru memenuhi 2,1 juta," paparnya dalam rapat dengan Komisi IV DPR, 15 Maret 2021.