Jejak Wangi Korupsi di Krakatau Steel yang Diendus Erick Thohir

Terpopuler Sepekan

Jejak Wangi Korupsi di Krakatau Steel yang Diendus Erick Thohir

Anisa Indraini - detikFinance
Sabtu, 02 Okt 2021 11:15 WIB
Krakatau Steel (istimewa)
Foto: Krakatau Steel (istimewa)
Jakarta -

Menteri BUMN Erick Thohir menyoroti proyek pengolahan biji besi menjadi hot metal atau blast furnace PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Proyek dengan nilai investasi US$ 850 juta yang disebut mangkrak itu berkontribusi pada utang perseroan yang mencapai US$ 2 miliar atau Rp 31 triliun. Erick pun menyebut ada indikasi korupsi.

"Ini kan hal-hal yang tidak bagus, pasti ada indikasi korupsi dan kita akan kejar siapapun yang merugikan karena ini kembali bukannya kita ingin menyalahkan, tetapi penegakan hukum kepada bisnis proses yang salah harus kita perbaiki," kata Erick dalam acara Talkshow Bangkit Bareng, Selasa (28/9/2021).

Dalam catatan detikcom Juli 2019 lalu, Roy Edison Maningkas yang ketika itu mengajukan pengunduran diri sebagai Komisaris Independen menjelaskan, proyek ini telah dicanangkan sejak 2011 dan terancam merugi. Pasalnya, harga pokok produksi (HPP) slag yang dihasilkan proyek blast furnace ini lebih mahal US$ 82 per ton atau setara dengan Rp 1.144.130 (kurs Rp 14.000) jika dibandingkan harga pasar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan demikian jika produksinya 1,1 juta ton hot metal per tahun, maka potensi kerugian Krakatau Steel sekitar Rp 1,3 triliun per tahun.

"Harga pokok produksi yang nanti dihasilkan itu lebih mahal US$ 82 per ton, which is kalau produksi 1,1 juta ton itu kita akan mengalami kerugian per tahun Rp 1,3 triliun," jelas Roy di kantor Kementerian BUMN, Jakarta Pusat, Selasa (22/7/2019).

ADVERTISEMENT

Selain itu, proyek blast furnace telah molor 72 bulan dari jadwal operasi, sehingga biaya proyek ini juga membengkak hingga Rp 3 triliun.

"Project ini awalnya tidak sampai Rp 7 triliun, dan sekarang over-run menjadi kurang lebih Rp 10 triliun. Over-run itu budget-nya terlampaui Rp 3 triliun. Saya pikir ini bukan angka yang kecil, ini besar. Proyeknya juga sudah terlambat 72 bulan," terangnya.

Roy mengatakan sejak awal menjabat sebagai Komisaris Independen pada 2015, dia sudah menyampaikan keberatannya terhadap proyek blast furnace. "Dan sejak awal saya masuk ke KS terutama dalam waktu 2 tahunan terakhir ini saya sudah sampaikan (keberatannya)," katanya.

Dikarenakan proyek tersebut sudah berjalan sejak 2011, maka Roy bersama dewan komisaris lainnya meminta adanya konsultan independen yang ahli dalam proyek blast furnace sehingga mereka dapat memberikan analisis terkait kerugian dan keuntungan, juga dampak dari proyek ini.

"Sempat ada dulu (konsultan independen), tapi kemudian karena apa itu istilahnya terstruktur (proyeknya) jadi nggak ada lagi," ucapnya.

Dia juga menyayangkan keputusan direksi untuk menjalankan proyek ini meski belum diuji coba.

"Tiga-empat minggu yang lalu di rapat BOD (Board of Director) BOC (Board of Commissioner) diputuskan bahwa fasilitas ini akan segera beroperasi. Saya langsung menyampaikan bahwa saya tidak setuju dan saya akan menyampaikan dissenting opinion," papar dia.

Roy saat itu juga memaparkan bahwa blast furnace ini belum memiliki gas holder atau penyaring gas buangan, sehingga gas buangan yang dihasilkan dari proyek ini langsung dibuang ke udara.

"Sekarang saja mereka sudah berani operasi padahal belum menghasilkan hot metal. Sekarang kan sudah melakukan kegiatan walaupun gas holdernya belum selesai. Gas buangan produksi ini buangnya ke udara. Jadi saya melihat disuruhnya berproduksi ini sangat dipaksakan," tandasnya.

Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim kala itu tak lama menanggapi persoalan tersebut. Dia mengatakan, proyek blast furnace sudah dicanangkan sejak 10 tahun yang lalu, sehingga tidak bisa dipisahkan dari proses panjang strategi di era perusahaan yang lalu.

"Ini kan sempat delay, terus kemudian saya masuk diminta untuk menyelesaikan proyek ini dan kemudian menjalankan. Kemudian saya lihat, biasanya kalau saya masuk ditugaskan ke BUMN baru itu saya lihat temuan BPK-nya apa," ujarnya di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (24/7/2019).

Silmy mengatakan, saat dia masuk ada 30 temuan BPK terhadap Krakatau Steel. Kemudian perusahaan menindaklanjuti temuan itu hingga tersisa 9 temuan.

"Nah di 9 temuan ini, 4 di antaranya mengenai blast furnace. Kita kan menyikapi ini mesti bijak. Proyek ini harus selesai," ujarnya.

Lantaran tak mau urusan semakin pelik, Silmy pun berupaya untuk menyelesaikan proyek blast furnace yang masuk sebagai temuan BPK itu. Dia berpandangan jika proyek yang molor tiga tahun itu tidak dijalankan maka persoalannya semakin berat.

"Kemudian kita bicara potensi rugi. Potensi rugi gini maksudnya, misalnya dulu waktu feasibility study, harga dari pada produk yang dihasilkan cost-nya misalnya US$ 400, tapi kemudian karena delay dan lain sebagainya menjadi US$ 500 misalnya, ya biayanya ada penambahan," tambahnya.

Untuk urusan potensi kerugian itu, Silmy tak ambil pusing. Menurutnya fokus pertama yang dilakukan adalah menyelesaikan proyek yang sudah molor itu, karena jika dibiarkan maka potensi kerugian akan semakin besar.

"Ya masalah nombok kan masalah proyek dulu, itu angkanya perlu dicek ulang. Nanti kalau sudah selesai baru ketahuan berapa besarnya. Pokoknya semua itu harus dijalankan secara lengkap, nggak bisa berdasarkan asumsi. Tidak ada klarifikasi dari pihak ketiga. Kan perlu ada proses menyatakan bahwa ini tidak efisien, kan harus diperiksa," tutupnya.


Hide Ads