Pemerintah menaikkan target penerimaan cukai tahun depan 11,9% menjadi Rp 203,9 triliun. Dari kenaikan target tersebut, ada kemungkinan cukai hasil tembakau (CHT) ikut mengalami kenaikan. Tarif CHT sendiri disarankan naik di atas 20% begitu juga dengan harga jual eceran (HJE) rokok.
Jika demikian, kenaikan CHT ini diminta agar tak membebani industri hasil tembakau (IHT). Sebab, kenaikan tarif CHT akan menurunkan harga tembakau dari petani. Hal ini juga akan berdampak terhadap pengurangan tenaga kerja di IHT. Persoalan industri tembakau tidak bisa hanya dinilai berdasarkan aspek kesehatan saja karena banyak pihak yang terlibat.
"Soal cukai rokok, mata rantainya banyak di situ. Jadi, pendekatannya enggak boleh sepihak. Enggak boleh hanya kesehatan, enggak boleh juga hanya tenaga kerja. Semua satu kesatuan memikirkannya," kata Anggota Komisi IV DPR Mindo Sianipar, Rabu (6/10/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini, mata rantai IHT menyerap hampir 6 juta tenaga kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jumlah tersebut menempatkan IHT sebagai salah satu sektor padat karya terbesar di Indonesia namun kondisi mereka sangat rentan terhadap tekanan yang terjadi di industri.
"Khususnya untuk sigaret kretek tangan, saya berharap kenaikan cukai nol persen. Ini harus dipertahankan karena rokok linting menyerap banyak tenaga kerja. Harus kita lindungi itu, ya," katanya.
Ekonom Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha, menjelaskan menaikkan tarif CHT di masa pandemi tidak tepat dilakukan.
"Masa pandemi negara memang membutuhkan penerimaan untuk mendukung berbagai program pemulihan ekonomi nasional. Namun, upaya ini akan menjadi bumerang ketika membebani industri padat karya seperti IHT. Kenaikan tarif CHT justru berpotensi menyulut gelombang PHK dan tidak terserapnya hasil panen petani tembakau dan cengkih," ujarnya.