Ini Sederet Dampak kalau Pemerintah Revisi Aturan Cukai Rokok

Ini Sederet Dampak kalau Pemerintah Revisi Aturan Cukai Rokok

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Rabu, 27 Okt 2021 16:10 WIB
Cukai rokok 2021 naik menjadi 12,5%. Kenaikan tarif tersebut mulai berlaku pada Februari 2021 mendatang.
Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Dorongan agar pemerintah segera memberlakukan simplifikasi pada industri hasil tembakau (IHT) terus bergulir. Simplifikasi seperti apa yang hendak diterapkan pemerintah juga belum jelas. Sejauh ini ada dua konsep simplifikasi yang diperkirakan akan dipakai Pemerintah.

Pertama, berdasarkan jenis produk. Konsep ini pada dasarnya ingin nantinya hanya ada 2 jenis rokok saja yakni, buatan mesin dan buatan tangan. Kedua, berdasarkan golongan produk. Penggolongan produk, yang saat ini berjumlah 10, akan dikurangi menjadi setengahnya.

Kedua konsep simplifikasi ini mengharuskan semua pelaku IHT, dari golongan bawah hingga atas, membayar tarif cukai yang sama, meski volume produksi mereka jauh berbeda. Hal ini diprediksi akan membuat industri rokok kecil mati dan terpaksa gulung tikar, karena ketidakmampuan mereka membayar tarif cukai dengan nilai yang sama dengan produsen rokok besar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menjelaskan bahwa masing-masing golongan rokok memiliki pangsa pasar sendiri-sendiri.

"Jika simplifikasi golongan cukai diberlakukan, ini justru akan mengganggu mekanisme pasar yang terbentuk secara ideal di tanah air," kata dia dalam keterangannya, Rabu (27/10).

ADVERTISEMENT

Menurut Henry, dampak terbesar dari simplifikasi adalah bergugurannya pabrik rokok kecil dan menengah. "Buat industri yang ada di GAPPRI, kami kan mulai dari golongan besar sampai kecil, golongan 1, golongan 2, golongan 3. Kalau terjadi simplifikasi berarti golongan kecil harus naik ke atas, padahal pasarnya kan belum tentu sanggup. Ini akan membuat pabrik rokok kecil berguguran. Nah, ini nantinya justru akan diisi oleh rokok ilegal," lanjutnya.

GAPPRI menganggap struktur tarif cukai yang sudah berlaku saat ini, baik pengaturan untuk SKM, SPM, maupun SKT itu adalah yang paling ideal. "Dengan kondisi sekarang ini, 10 layer IHT, khususnya kretek, sudah sangat ideal," katanya.

Henry menambahkan bahwa dari 2010 sebenarnya sudah terjadi simplifikasi dan terlihat sangat jelas kalau industrinya langsung turun secara drastis. "Harapan kami, industri ini tolong jangan diganggu lagi dengan regulasi-regulasi yang semakin memberatkan," ujarnya.

Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, dalam sebuah Konferensi Pers, Survei Rokok Ilegal di Indonesia, Minggu, 24 Oktober 2021, mengecam rencana simplifikasi tersebut. Ia menjabarkan beberapa dampak Simplifikasi, diantaranya Simplifikasi berpotensi menciptakan persaingan tidak sehat.

Penggabungan layer sigaret putih mesin (SPM) dengan sigaret kretek mesin (SKM) pada golongan 2 diperkirakan akan menyebabkan penurunan volume rokok sebesar 2,12%. "Dampak lainnya, Simplifikasi juga berpotensi memunculkan oligopoli bahkan monopoli untuk segmen SPM. Penyederhanaan layer dan penggabungan golongan juga hanya akan menguntungkan pabrikan atau produsen besar," tegasnya.

Perihal Simplifikasi Tarif Cukai Hasil Tembakau juga mendapat sorotan dan kritikan tajam dari Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) provinsi Nusa Tenggara Barat, Sahminudin. Ia menilai bahwa selama ini kita telah dibohongi dan dibodohi dengan kata simplifikasi yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya adalah penyederhanaan.


Hide Ads