Investasi di sektor baja RI tahun lalu tercatat US$ 12 miliar. Tahun ini prediksinya bisa mencapai US$ 15,2 miliar atau sekitar Rp 215 triliun.
Data IISIA ini disampaikan Ketua Klaster Flat Product, Melati Sarnita, dalam diskusi yang digelar HIPMI. Ekonom Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Surya Vandiantara mengatakan data positif investasi sektor baja ini menunjukan sebuah keberhasilan kebijakan pengendalian impor dengan subtitusi impor terukur yang dilakukan oleh Pemerintah.
"Kinerja investasi di sektor logam dan baja sangat menjanjikan meski masih dalam suasana pandemi COVID-19 yang masuk Indonesia sejak tahun 2020 hingga saat ini," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (4/2/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Surya menambahkan dorongan investasi sektor baja didorong oleh permintaan baja nasional dan ekspor yang terus meningkat terutama di sektor baja hilir. Investasi di sektor logam dan baja tumbuh terus tiap tahunnya, buktinya tahun 2020 sebesar Rp 94,85 triliun naik menjadi di atas Rp 114 triliun tahun lalu.
Hal ini memberikan konsekuensi pemenuhan bahan baku, namun yang disuplai dari industri hulu baja terutama baja carbon dari dalam negeri jauh dari harapan. Oleh karena itu, lanjut Surya, untuk menjaga iklim investasi bahan baku ini harus dipenuhi dengan impor.
"Pertumbuhan investasi di sektor baja sama sekali tidak terpengaruh dengan narasi banjir impor baja yang sering muncul entah apa motifnya perlu didalami," kata Surya.
Sebelumnya, pemerhati perumahan alumni Fakultas Teknik UI, Cindar Hari Prabowo menyampaikan data BPS tentang data Baja impor tanpa pengendalian pemerintah (tanpa lartas) seperti slab, bilet dan iron ore mengalami peningkatan dari tahun 2019 sebesar 4,7 juta ton menjadi 5,22 juta ton di tahun 2021.
Cindar mengartikan investasi yang ada di sektor hulu baja karbon saat ini bahan bakunya juga dipenuhi dari impor bukan mengolah dari dalam negeri karena hambatan teknis dan ekonomis.
Dikatakan juga oleh pemerhati UI ini bahwa baja yang dilakukan pengendalian pemerintah (dengan lartas) pada tahun 2019 sebesar 7,89 juta ton berhasil dikendalikan sebesar 6,35 juta ton atau turun 19% meskipun industri baja dikatagorikan import processing industry.
Surya melanjutkan, persoalan kemajuan di hilir baja lebih cepat dibanding dengan kemampuan suplai dari hulu baja. Menurutnya ini menjadi PR besar dalam mendukung investasi baja nasional, satu sisi pemerintah melakukan rem pada baja yang di lartas, sisi yang lain bahan baku yang diproses oleh industri hulu baja carbon terjadi pengegasan impor bahan baku guna memenuhi kebutuhan industri baja hilir, jadi rem dan gas ini tidak harmonis karena kekurangan kemampuan di industri hulu baja nasional.
Ekonom muda Muhamadiyah ini melihat untuk menjaga pertumbuhan ekonomi nasional memang harus dijaga suplai bahan baku baja.
"Selama sektor baja ini masih surplus yang berasal dari baja stainless steel dalam neraca pembayaran. Masih baik meskipun industri hulu baja karbon masih terseok-seok, lebih lagi mereka belum mampu menghasilkan engineering steel. Secara logic, tambahan investasi baru perlu impor bahan baku baja baru," pungkas Surya.
(ang/ang)