Banjirnya produk baja impor dinilai merusak tatanan pasar Indonesia. Iklim investasi pun akan terdampak negatif.
Ketua Umum Bidang Perbankan dan Keuangan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Anggawira mengatakan dampak tingginya baja impor bisa membuat investasi mandek.
"Kalau investasi mandek akan menghambat implementasi pembangunan Cluster Industri Baja 10 Juta Ton Cilegon yang telah dicanangkan pemerintah dan ditargetkan selesai di tahun 2025. Investasi industri baja yang telah ditanamkan investor baik PMDN maupun PMA hingga saat ini telah mencapai 15,2 miliar dolar AS atau setara Rp 215 triliun. Angka tersebut merupakan nilai investasi yang sangat besar" ujar dia dalam keterangannya ditulis Minggu (06/02/2012).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibatnya, lanjut Anggawira dalam forum dialog HIPMI bersama The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) ini mengatakan, jangankan untuk mencari keuntungan atas investasi tersebut, bahkan untuk bisa balik modal akan sulit.
Sebagai gambaran, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi kenaikan impor baja sebesar 23% yang semula 3,9 juta ton pada 2020 menjadi 4,8 juta ton pada 2021.
Senada dengan pendapat tersebut, Ketua Cluster Flat Product Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional/ IISIA, Melati Sarnita mengatakan industri baja masih dihadapkan pada permasalahan utama yaitu impor baja yang masih tinggi.
Menurut Melati, permasalahan yang terjadi dari peningkatan impor adalah impor tersebut mengisi pangsa pasar yang diisi oleh produk baja dalam negeri, sehingga menurunkan tingkat utilisasi industri baja dalam negeri yang saat ini masih rendah yaitu rata-rata hanya 40%.
"Di samping itu, impor baja yang masuk ke pasar dalam negeri diindikasi banyak yang dilakukan dengan cara unfair trade seperti dumping dan circumvention (pengalihan pos tarif)", ujar Melati Sarnita yang juga Direktur Komersial PT Krakatau Steel tersebut.
Selain itu, Melati menyampaikan praktik impor baja yang telah mengganggu kestabilan industri baja dalam negeri serta upaya yang sudah dilakukan untuk mengantisipasinya.
Kecenderungannya impor yang masuk masih dilakukan secara unfair trade baik dengan harga dumping (predatory pricing) maupun adanya praktik pengalihan kode HS dari baja karbon ke baja paduan (circumvention).
"Pengajuan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atau Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) baik yang perpanjangan maupun yang baru sudah kita sampaikan, besar harapan kami pemerintah bisa memberlakukan kebijakan trade remedies seperti yang negara-negara lain sudah lakukan", ujar Melati.
Melati juga menambahkan terkait upaya pengamanan perdagangan lainnya yaitu technical barrier untuk membendung derasnya produk impor diantaranya penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk baja secara wajib dari hulu hingga hilir yang harus segera diterapkan oleh Kementerian terkait serta mendorong pemenuhan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dengan memperhatikan dari sisi material pada proyek-proyek pemerintah.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Bidang Perindustrian, Bobby Gafur Umar menyampaikan Kondisi yang menyedihkan yaitu utilisasi produsen baja nasional saat ini rata rata baru mencapai 40% yang idealnya 80%
Angka ini dinilai Bobby merupakan angka yang tidak terlalu baik dibandingkan industri lain sebagai contohnya keramik. Dengan tingkat utilisasi yang hanya di angka 40% investor di industri baja tentu akan berfikir berkali kali.
"Hal lainnya serangan impor juga dilakukan dengan berbagai macam cara oleh para trader, oleh karenanya KADIN berharap agar pemerintah secara konsisten menerapkan peraturan yang ada khususnya untuk mengendalikan impor dan menjaga investasi yang sudah ditanamkan", ungkap Bobby.
(zlf/zlf)