Harga TBS Masih Rendah, Petani Minta Pungutan Ekspor Sawit Ditunda

Harga TBS Masih Rendah, Petani Minta Pungutan Ekspor Sawit Ditunda

Danang Sugianto - detikFinance
Senin, 22 Agu 2022 17:12 WIB
Pekerja melakukan bongkar muat kelapa sawit yang akan diolah menjadi minyak kelapa sawit Crude palem Oil (CPO) dan kernel di pabrik kelapa sawit Kertajaya, Malingping, Banten, Selasa (19/6). Dalam sehari pabrik tersebut mampu menghasilkan sekitar 160 ton minyak mentah kelapa sawit. File/detikFoto.
Foto: Jhoni Hutapea
Jakarta -

Pemerintah menghapus tarif pungutan ekspor kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya mulai 18 Juli-31 Agustus 2022 atau selama 1,5 bulan.

Kebijakan itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115 Tahun 2022 yang menyebut tarif pajak pungutan ekspor pada seluruh produk dari tandan buah segar (TBS), kelapa sawit, produk sawit, bungkil, palm oil, used cooking oil, dan crude palm oil menjadi Rp 0 per metrik ton.

Penerapan relaksasi ini dinilai terlalu singkat lantaran setelah tanggal 31 Agustus 2022 atau mulai 1 September 2022, pemerintah akan memberlakukan tarif pajak ekspor CPO dan produk turunannya bersifat progresif atau menyesuaikan dengan harga di pasar global.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung menilai, sudah sewajarnya pemerintah tidak memberlakukan dulu pungutan ekspor sawit dalam waktu dekat. Atau setidaknya memperpanjang periode relaksasi ini.

"Saya berpendapat supaya PE (pungutan ekspor) ini sementara dikesampingkan dulu sampai harga TBS Petani di atas Rp 3.000/kg," tutur dia saat berbincang dengan media belum lama ini.

ADVERTISEMENT

Relaksasi yang dilakukan pemerintah sebenarnya ditujukan agar ekspor sawit kembali bergairah. Harapannya, tangki-tangki penyimpanan yang dimiliki pabrik pengolahan CPO bisa memiliki ruang lebih longgar setelah ekspor kembali dilakukan. Dengan demikian, ada ruang yang cukup bagi pabrik untuk kembali menyerap tandan buah segar (TBS) sawit petani dengan harga yang lebih baik.

Sayang, relaksasi yang belaku hanya selama 2 minggu, lanjut dia, belum bisa dirasakan dampaknya karena masa penerapannya yang dinilai terlalu singkat. Menurutnya, butuh waktu lebih panjang agar satu kebijakan bisa memberikan dampak yang bisa dirasakan oleh masyarakat maupun pelaku usaha.

"Pemulihan ini membutuhkan waktu dan pemerintah harus hadir," jelasnya.

Terpisah, Peneliti Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda berpandangan, kebijakan pungutan sawit tampaknya perlu menjadi perhatian pemerintah agar dilakukan evaluasi.

Ia menilai, salah satu akar masalah terkait pungutan sawit adalah pemanfaatannya yang tidak tepat sasaran.

"Sama sekali tidak tepat sasaran dengan kita melihat dana pengelolaan dari kelapa sawit banyak yang kembali pada produsen pengolah dana sawit sekaligus eksportir kelapa sawit. Bahkan ada perusahaan yang untung dari subsidi biodiesel kelapa sawit," kata dia.

Benar saja, berdasarkan Kepmen ESDM No. 258K/10/DJE/thn 2016 Tentang Penetapan Badan Usaha BBN dan alokasi besaran volumenya untuk pengadaan BBN jenis Biodiesel di PT PERTAMINA (Persero) dan PT AKR Corporindo, alokasi dana sawit untuk kepentingan biodiesel hanya dirasakan oleh segelintir perusahaan saja yang dipilih lewat skema penunjukan langsung.

Di sisi lain, pemanfaatan dana sawit untuk pengadaan biodiesel juga dinilai tak sejalan dengan semangat pengembangan industri sawit sebagai tujuan awal diterapkannya dana pungutan ekspor sawit ini.

"Pemanfaatan saat ini lebih banyak digunakan untuk subsidi program biodiesel. Padahal ada sasaran lainnya seperti peningkatan SDM petani, peremajaan sawit, dan lainnya, yang porsinya sangat kecil sekali. Belum lagi untuk porsi lainnya. Jadi alokasi saat ini sangat timpang sekali. Kacau balau," tegas dia.

Dengan kondisi saat ini, tak berlebihan menurutnya bila pemerintah mulai memikirkan untuk melakukan evaluasi terhadap penerapan dana pungutan ekspor sawit.

Jangan sampai, saat pungutan sawit kembali diterapkan malah akan ada beban baru bagi pelaku industri sawit baik produsen, pabrik pengolahan hingga petani. Padahal, mereka sendiri tidak merasakan manfaat dari penerapan dana pungutan sawit itu.

(das/dna)

Hide Ads