Pemerintah sedang berupaya menjaga harga minyak goreng agar tetap terkendali, sehingga tidak melonjak lagi. Dalam kebijakan tersebut, termasuk menerapkan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).
Nah, menurut akademisi dan Ketua LPEM UI dari Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha mengungkapkan DMO ini adalah sebuah kebijakan yang bertujuan agar ekspor CPO tercukupi. Tapi saat ini pemerintah tak punya hitungan yang detil, sehingga DMO ini perhitungannya tidak jelas.
"Kenaikan harga minyak goreng disebabkan harga CPO yang kuantitasnya meningkat sehingga dibutuhkan kebijakan DMO. Itu merupakan suatu kebijakan yang dibuat berdasarkan dugaan mengenai suatu masalah. Tetapi, apakah hipotesisnya itu benar? Karena apabila tidak sesuai ekspektasi, akan merugikan perekonomian bagi masyarakat," kata dia, ditulis Sabtu (17/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia merekomendasikan agar kebijakan ini dihapuskan karena akan berpengaruh ke pasokan dan pertumbuhan ekonomi. "Dari beberapa informasi, kelangkaan minyak goreng itu bukan disebabkan oleh tidak tersedianya CPO dalam negeri. Dengan demikian, pembatasan ekspor atau penghentian ekspor bukan merupakan kebijakan yang tepat," ungkapnya.
Diketahui, kebijakan DMO dan DPO ini diterapkan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan selama lebih dari 6 bulan. Kebijakan non tariff barrier ini membatasi volume ekspor yang berimbas pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sejak kebijakan DMO dan DPO diberlakukan, dampak yang paling dirasakan adalah permintaan tandan buah segar (TBS) turun dan petani sawit mengalami kesulitan menjual TBS. Menurut dia, hal ini karena pemerintah tidak mempunyai kajian yang mumpuni terkait kebijakan DMO dan DPO sebelum diberlakukan.
"Karena terbukti inefisien, sebaiknya kebijakan DMO dan DPO dihapus. Jika ini dilakukan, otomatis, harga TBS akan naik dengan sendirinya serta produktivitas dan kesejahteraan petani meningkat," kata Eugenia.
Pemerintah bisa menggunakan instrumen lain berupa pungutan ekspor dan bea keluar untuk mengendalikan volume ekspor CPO. Hasil pungutan ekspor CPO seharusnya dapat digunakan untuk melakukan subsidi minyak goreng sehingga harga terkendali.
Menurut Eugenia, kenaikan harga minyak goreng selama ini bukan disebabkan oleh ketersediaan CPO di dalam negeri, namun karena terjadinya kenaikan harga CPO di pasar internasional. Naiknya harga minyak goreng juga dipengaruhi oleh kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang membuat produsen mengurangi suplai sehingga terjadi kelangkaan.
Dalam penelitian LPEM UI 2022, Eugenia mengungkapkan penghentian ekspor 28 April - 22 Mei 2022 telah menurunkan Product Domestic Bruto (PDB) pada Q2 2022 sebesar 3%.