Berebut Kuota Impor di Balik Perpres Percepatan Swasembada Gula?

Berebut Kuota Impor di Balik Perpres Percepatan Swasembada Gula?

tim detikcom - detikFinance
Selasa, 18 Okt 2022 10:07 WIB
Indonesia berencana melakukan impor gula sebanyak 381.000 ton.
Ilustrasi Gula Impor (Foto: Mindra Purnomo/tim infografis detikcom)
Jakarta -

Pemerintah sedang mempersiapkan Peraturan Presiden (Perpres) percepatan swasembada gula konsumsi 2025 dan rafinasi 2030. Namun, publik menilai aturan tersebut tidak lebih dari mendapatkan kuota impor gula tanpa ada keseriusan meningkatkan produksi gula dalam negeri.

Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai aturan terkait gula dari hulu hingga hilir, dari Undang-Undang Cipta Kerja hingga Peraturan Menteri Perdagagan, Perindustrian hingga Pertanian semuanya punya aturan sendiri-sendiri terkait gula nasional, namun target swasembada gula tidak kunjung tercapai bertahun-tahun lamanya.

"Peraturan soal pergulaaan di Indonesia ini sudah sangat banyak sekali, bahkan over regulated, kebanyakan dari Undang-Undang Perkebunan 2004 lalu direvisi 2014 dalam Undang-Undang Cipta Kerja, ada PP nya juga, belum lagi kemenperin keluarin aturan, Kemendag, Kementan semuanya mengeluarkan aturan, sebentara lagi rencananya ada Perpres percepatan swasembeda gula, terlalu banyak aturan dan target swasembada tidak kunjung tercapai," ungkap Khudori dihubungi, Selasa (17/10/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, rencana Perpres Percepatan Swasembada yang akan dikeluarkan pemerintah dengan target swasembada gula konsumsi pada 2025 dan swasembada gula rafinasi 2030 terlalu mengada-ada. Pasalnya tidak ada langkah teknis dan tahapan per tahapan untuk mencapai target tersebut, sementara yang paling ditekankan dalam Perpres tersebut hanya impor gula.

"Contoh target swasembada gula rafinasi? langkah-langkahnya apa? di Perpres itu hanya ngomongin PTPN ditugaskan nambah area perkebunan, bentuk anak usaha yang bisa patungan dengan investor. Kondisinya 11 pabrik gula rafinasi di Indonesia itu semuanya milik swasta, tidak ada yang BUMN, di Perpres itu tidak ada melibatkan mereka (swasta). Lalu mau nambah produksi gula rafinasi, dari mana lahan kebunnya, karena 11 pabrik gula rafinasi itu adanya didekat pelabuhan, panen gulanya di pelabuhan yang artinya sejak awal di bangun, pabrik-pabrik ini memang untuk panen gula impor," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

Menurut Khudori, permasalahan utama gula nasional adalah lahan yang terbatas dan bahkan saling berebut dengan tanaman pokok lainnya seperti padi (beras), jagung dan kedelai.

"Lahan tebu kita terbatas dan sebagian besar merupakan lahan persawahan, jadi kalau nanam tebu tidak menguntungkan, maka sama petani ditanam padi atau jagung atau kedelai, lahannya jadi satu. Sementara petani sejak 2016 dipatok keuntungan mereka dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) dari 2016 dan baru naik lagi sebesar 12.500 per kilogram. Bertahun-tahun tidak pernah naik, sementara kebutuhan pokok, upah dan BBM naik terus," ungkapnya.

Dirinya pun pesimistis dengan Pembentukan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) atau SugarCo dapat mencapai target swasembada. Seperti diketahui, SugarCo dibentuk pada 17 Agustus 2021 yang merupakan anak usaha Holding Perkebunan Nusantara, gabungan dari tujuh anak perusahaan pengelolaan perkebunan tebu yakni PTPN II, PTPN VII, PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII serta PTPN XIV.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Khudori menjelaskan, SugarCo hanyalah sekedar konsolidasi perusahaan gula BUMN yang mana sebagian besar pabrik gulanya tua dengan teknologi yang ketinggalan zaman serta tidak efisien.

"Pabrik gula BUMN ini kan warisan zaman belanda, teknologinya ketinggalan zaman, usianya sudah seratus tahun lebih, kuno, pengerjaanya kebanyakan manual sehingga membutuhkan tenaga kerja banyak sehingga tidak optimal," katanya.

Apalagi, dalam SugarCo ini tidak memasukkan PT Rajawali Nusantara (RNI), padahal BUMN ini juga mengelola beberapa pabrik gula di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

"Ini RNI mau dikemanakan? Kok tidak dilibatkan," ucapnya.

Bermasalah

Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Takyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikun menilai pembentukan SugarCo juga akan menimbulkan masalah baru terutama bagi para petani.

"Kami tidak tahu tujuan sebenarnya pembentukan SugarCo ini buat apa, toh para petani juga tidak diajak bicara, tidak melibatkan petani. Sementara mereka mengklaim punya lahan perkbunan 158.000 hektare , lahan di mana itu? wong lahan HGU perkebunan tebu semua PTPN itu hanya sekitar 58.000 hektare, sisanya 100.000 itu punya petani, kok diklaim sebagai miliknya. Kalau sudah diawal pakai data salah dan mengklaim lahan petani punya mereka sementara petani tidak diajak bicara, ini bisa menimbulkan masalah baru," ujar Soemitro.

Apalagi kata Soemitro, PTPN III sebagai induk holding perkebunan tebu/gula diminta untuk menambah lahan perkebunan tebu sebanyak 700.000 hektare agar produktivitas gula nasional meningkat.

" Di mana cari lahannya? di Papua ada tapi ada pabrik gula di sana? tidak ada, di Kalimantan? ngak bisa lahannya gambut tebu sulit di tanam di sana. Dan boro-boro nambah lahan 700 ribu, nambah 50.000 saja susah," ungkapnya.

Soemitro mengungkapkan, para petani heran dengan target swasembada gula konsumsi 2025 dan swasembada 2030 pasalnya pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan berakhir 2024.

"Kita itu bakal ganti presiden, kok mau ngeluarin Perpres untuk swasembada gula 2025 dan 2030? kalau menduga-duga, di draf perpres itu kan ada ngomongin kuota impor gula, dan kalau kita inget-inget lagi, tarik ke belakang, setiap mau pemilu, impor gula selalu melonjak, 2013 impor kita melonjak tinggi, 2018 apalagi, impor gula kita mencapai 5 juta ton dan itu terbesar dalam sejarah, itu dugaan kita. Makanya kami protes, petani protes, kita kirim surat, mau swasembada gula, 50 persen produksi gula di pasok swasta, sebagian besar kebun tebunya petani, tapi petani tidak diajak bicara," tutupnya.


Hide Ads