Jakarta -
Pemerintah berencana menerbitkan peraturan presiden tentang percepatan swasembada gula konsumsi 2025 dan rafinasi 2030. Namun, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai, pasal-pasal dalam perpres tersebut terkesan hanya mengejar keuntungan, stabilitas stok dan harga.
Anggota Komisi VI DPR, Herman Khaeron mempertanyakan dampak positif Perpres tersebut bagi kesejahteraan petani.
"Kesejahteraan petani tebu hanya muncul dua kali dalam Perpres tersebut, sehingga jadi pertanyaan Perpres ini untuk meningkatkan kesejahteraan petani atau hanya profit oriented? Seharusnya ada klausul atau pasal yang secara jelas menyatakan output Perpres ini untuk kesejahteraan petani," ungkap Herman, dalam Seminar Nasional, Membedah Rancangan Perpres Percepatan Swasembada Gula, di Hotel Redtop, Jakarta, Rabu (26/10/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apalagi kata Herman, dalam perpres ini jelas mengatur penerbitan izin impor atau kuota impor baik untuk BUMN maupun perusahaan swasta, namun tidak ada sanksi tegas bila perusahaan yang mendapatkan kuota impor tidak melaksanakan kewajibannya menambah luas area perkebunan tebu.
"Apalagi tidak ada sanksi tegas juga bagi PTPN III bila nantinya gagal mencapai target swasembada. Dalam Perpres ini juga hanya mengatur mengenai kewenangan BUMN, yang justru dikahwatirkan akan menimbulkan praktik monopoli," katanya.
Masalah utama pergulaan nasional, menurut Herman, adalah jumlah lahan yang tidak mencukupi dan rendemen yang rendah. Selain itu, perlu peningkatan fasilitas lahan dan pengairan, revitalisasi pabrik gula, serta subsidi harga pupuk.
"Saya akan membawa soal Perpres ini ke Komisi VI dan pemerintah tidak jadi mengesahkan Perpres ini," tegasnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Kepala Pusat Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Profesor Dwi Andreas Santosa mengungkapkan, para petani tanaman pangan dan peternak rakyat termasuk di dalamnya petani tebu, dalam beberapa tahun terakhir mengalami kerugian.
"Nilai Tukar Petani (NTP) tanaman pangan di bawah 100 sejak Februari 2021 hingga September 2022, praktis secara rata-rata selama sembilan tahun terakhir hanya tiga tahun NTP petani tanaman pangan lebih dari 100 yakni pada 2018-2020," ungkap Andreas.
Terkait rencana pemerintah mengejar percepatan swasembada gula nasional 2025 dan swasembada gula rafinasi di 2030 yang bakal tertuang dalam Perpres Percepatan Swasembada Gula yang sedang disusun pemerintah, ia menilai tidaklah realistis.
"Naikkan segera HPP gula dari petani, karena biaia usaha tani meningkat cukup tinggi dalam tiga tahun terakhir. Lalu lindungi petani tebu dan industri gula dalam negeri dari kebijakan peningkatan tarif impor raw sugar," kata Andreas.
"Lalu cabut aturan Harga Eceran Tertinggi untuk gula konsumsi serta meningkatkan R&D terutama untuk pengembangan bibit-bibit baru," tambahnya.
Sementara Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) Soemitro samadikoen menilai rencana pemerintah menerbitkan Perpres tentang percepatan swasembada gula hanya omong kosong dan akal-akalan saja.
Menurutnya, swasembada gula sebenarnya sudah berkali-kali dicanangkan sejak masa presiden SBY. Dimulai tahun 2008, kemudian berlanjut 2013 target swasembada gula selalu meleset. Di era pemerintahan Jokowi, target swasembada gula juga selalu meleset saat ditargetkan di tahun 2019 dan di tahun 2022.
"Ini ada pencanangan swasembada lagi di tahun 2025 itu omong kosong dan hanya akal-akalan. Karena arahnya swasembada, tapi ujung-ujungnya impor," kata soemitro.
Menurut Soemitro, penunjukan PTPN III sebagai pelaksana adalah pemaksaan karena lahan tebu yang dimiliki semua PTPN tidak besar dibandingkan lahan petani.