Cukai Rokok Naik Tahun Depan, Apa Dampaknya?

Cukai Rokok Naik Tahun Depan, Apa Dampaknya?

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Rabu, 23 Nov 2022 16:19 WIB
Harga rokok dipastikan naik tahun depan. Kenaikan ini menyusul kebijakan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10% pada 2023 dan 2024.
Foto: Dok. detikcom
Jakarta -

Pemerintah memutuskan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dengan tujuan untuk meningkatkan edukasi bahaya merokok kepada masyarakat. Hal tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (03/11/2022).

Sri Mulyani menyampaikan bahwa cukai rokok naik tertimbang 10% berlaku untuk tahun 2023 dan 2024. Kebijakan kenaikan CHT juga berlaku untuk rokok elektrik, dengan kenaikan rata-rata 15% untuk rokok elektrik dan 6% untuk HPTL, berlaku setiap tahun naik 15% selama 5 tahun ke depan. Menkeu mengaku, kenaikan tarif cukai ini dilakukan untuk menurunkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7% yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.

Benarkah kenaikan tarif cukai rokok memengaruhi kebiasaan merokok masyarakat di Indonesia? Menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, AB. Widyanta, merokok merupakan bentuk dari sosial kultural yang menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi Indonesia dan dipakai di dalam kebiasaan kultural masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengenai persoalan perokok remaja, AB Widyanta mencurigai, jangan-jangan datanya memang sudah tinggi sejak dulu, namun baru terbuka beberapa waktu terakhir karena kemajuan teknologi, dan penyebaran informasi yang semakin mudah, melalui media elektronik.

"Saya sebenarnya sudah bertemu dengan rokok sejak saya kecil, namun saya baru merokok semenjak bergelut di dunia yang penuh pemikiran," ungkap AB. Widyanta, Rabu (23/11/2023).

ADVERTISEMENT

"Kita harus menjadi bangsa yang terbiasa membudayakan perencanaan jangka panjang. Jangan kita naikkan cukai rokok hanya karena krisis ekonomi tanpa ada catatan yang memadai. Roadmap Industri Hasil Tembakau (IHT) sangat diperlukan, supaya terlihat jelas bagaimana arah ke depannya," kata AB Widyanta menegaskan.

Ia menambahkan, seharusnya orang Indonesia dibuat sedikit lebih pintar. Kalau misalkan cukai hasil tembakau (CHT) dibuat untuk berhenti merokok, seharusnya pemerintah bisa membuka data orang yang berhenti merokok dari CHT atau dana bagi hasil cukai tembakau (DBHCHT). Apakah data penurunannya signifikan atau tidak? Karena ini berkaitan dengan efektif atau tidaknya kenaikan CHT.

Menurutnya, kenaikan cukai rokok hanya menguntungkan pemerintah.

"Yang mendapatkan keuntungan adalah pemerintah, namun apakah berkorelasi dengan orang berhenti merokok? Realitasnya tidak. Karena orang yang punya daya beli akan terus membeli, dan orang yang tidak memiliki daya beli akan berpikir taktis, dengan membuat atau melinting sendiri dan mencari alternatif lain," jelasnya.

Hal serupa juga diungkapkan psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI), Mira D. Amir. Ia mengatakan, manusia itu adaptif. Ketika harga rokok dinaikkan, orang akan berpikir taktis dan mencari alternatif lain.

"Ada juga yang bergeser ke rokok elektrik karena status, dengan klaim lebih bersih dan lebih sehat," ujarnya.

Menurut Mira, biasanya orang mulai merokok dari social learning. Ketika ada orang merokok di sekitarnya, maka ia mempelajari perilaku tersebut. Namun tidak semua berakhir menjadi perokok. Ada juga yang memang merasa tidak cocok dengan tembakau. Dan kalau dilihat dari perilaku masyarakat, biasanya mereka yang sudah menjadi perokok berat, akan berhenti karena faktor kesehatan. "Manusia itu cenderung berpikir bahwa penyakit akibat rokok yang terdapat dalam gambar peringatan di bungkus rokok, tidak terjadi pada dirinya, maka orang itu akan tetap merokok. Meskipun harga rokok terus dinaikkan," ungkapnya.

Budayawan sekaligus dosen luar biasa Pasca Sarjana Universitas Indonesia dan STAINU, Jakarta, Ngatawi Al-Zastrouw mengatakan, ada banyak faktor seseorang terus atau berhenti merokok. Tapi paling tidak ada dua alasan utama, yaitu alasan kesehatan, dan karena desakan keluarga. Alasan ekonomi dan agama kurang menjadi pertimbangan seseorang untuk terus atau berhenti merokok.

"Jadi, tidak ada pengaruh signifikan antara kenaikan cukai rokok dengan perilaku merokok. Hal ini dibuktikan dengan terus meningkatnya jumlah perokok meskipun cukai dinaikkan," katanya.

Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) menunjukkan dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021. Padahal, sambung Al-Zastrouw dalam sepuluh tahun terakhir terjadi kenaikan tarif cukai rokok yang signifikan.

Menurutnya, berdasarkan data yang ada, ketika terjadi kenaikan tarif cukai rokok, para perokok akan melakukan penyesuaian dalam pola merokok. Mereka tidak jera merokok atau berhenti merokok. Salah satu cara mengatasi tekanan karena kenaikan cukai rokok adalah mereka akan lari ke rokok ilegal.

"Inilah yang menyebabkan meningkatnya peredaran rokok ilegal sebagai alternatif untuk mengatasi tekanan harga yang meningkat. Kenaikan jumlah perokok dan rokok ilegal merupakan indikasi, kenaikan tarif cukai rokok bukan solusi yang baik untuk menekan jumlah perokok," terangnya.

Sementara itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, kenaikan cukai tidak bisa membuat orang berhenti merokok.

"Ketika angka prevalensi masih tinggi di saat cukai terus dinaikkan, itu bukan berarti kebijakan cukai yang gagal tetapi karena ruang gerak kebijakannya yang terbatas. Kemudian, apakah dengan harga tinggi orang berhenti merokok? Tidak! Mereka malah beralih ke rokok yang lebih murah. Itu namanya dead weight loss atau excess burden," jelas Nirwala.

Saat ditanya tentang perokok anak, Nirwala mengatakan bahwa hal itu merupakan wilayah non fiskal.

"Meningkatnya perokok anak dalam beberapa tahun terakhir, sementara mereka di rumah terus, berarti ada pengawasan orang tua yang dipertanyakan. Hal seperti ini tidak mungkin dijangkau dengan fiskal," tegas Nirwala.

Ia juga mempertanyakan, apakah masuk akal kalau harga rokok menjadi penyebab kemiskinan, tetapi rekomendasinya justru memahalkan harga rokok. Menurutnya, ini sangat lucu dan tidak masuk akal.

Menurut Nirwala, ruang gerak DJBC sangat terbatas, karena pengendalian konsumsi rokok berada di wilayah non fiskal. Dalam pengendalian konsumsi rokok sendiri, ada yang dinamakan tindakan preventif dan rehabilitative.

"Dari dua jenis tindakan di atas, selama ini yang ada hasilnya hanya kebijakan cukai. Kalau Key Perfomance Indicator (KPI) dari non fiskal itu tidak searah dengan visi Presiden, artinya koordinatornya tidak berfungsi baik," tukasnya.


Hide Ads