Jakarta -
Pemerintah berencana melarang penjualan rokok ketengan. Namun rencana ini disebut bisa membuat warung dan pedagang kecil terdampak karena akan mengganggu penjualan.
Tak sedikit pedagang kecil dan pemilik warung yang menolak usulan larangan ini. Pasalnya larangan disebut bisa mengurangi omzet penjualan mereka. Apalagi saat ini ekonomi yang masih dalam fase pemulihan bagi para pedagang kecil jadi alasan utama.
Menurut Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) dalam keterangan tertulisnya membagikan keresahan para pemilik warung. Salah satu pemilik warung di Antapani, Bandung Reynold mengaku heran dengan larangan ini karena akan menekan omzet. Selain itu keuntungan pedagang juga akan berkurang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia penjualan secara batangan disebutnya memang lebih menguntungkan dibandingkan kemasan. Reyenold mengatakan, saat menjual per batang, ia bisa mendapat untung Rp 150 per batang. Ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan jual per kemasan.
Reyenold bilang jika diberlakukan, larangan eceran tersebut berdampak besar bagi para pedagang.
"Larangan ini pasti akan berdampak langsung ke pemasukan. Sebab, karakter pembeli tiap daerah berbeda-beda. Lagi pula, kalau tidak bisa jual eceran, itu sama saja pemerintah meminta penjual warung yang notabene UMKM. Jadi saya jelas tidak setuju wacana ini," jelas dia.
Tak hanya lebih menguntungkan, penjualan secara eceran juga sejatinya kerap menjadi kontributor pendapatan utama warung-warung kecil maupun pedagang asongan. Salah satunya Sri Maryani, yang juga berdagang di Antapani, Bandung.
"Hampir 40% pemasukan warung saya hasil penjualan rokok batangan. Dengan adanya larangan ini, pasti akan menurunkan omzet. Soalnya, konsumen yang membeli ke warung mayoritas pembeli eceran," ujarnya.
Sri juga cukup bingung soal pelaksanaan peraturan ini. Sebab, banyak sekali warung yang berada di wilayah-wilayah pemukiman.
Bersambung ke halaman berikutnya. Langsung klik
Senada dengan Sri, Sunarti pemilik toko kelontong di Sidoarjo pun menilai aspek pengawasan akan sangat sulit dilakukan. Tak hanya di wilayah pemukiman, warung-warung kecil banyak pula yang berada di wilayah industri seperti warung miliknya.
"Belum dirazia pun pembeli warung kecil sudah berkurang, apalagi nanti ada razia. Harusnya dipikirkan lagi. Bikin susah pedagang saja," imbuhnya.
Sunarti yang memiliki warung di kawasan industri pun menambahkan, penjualan di warungnya sejatinya sudah merosot akibat pandemi. Sebab, banyak pekerja yang sudah dirumahkan akibat adanya pembatasan sosial. Makanya, ia menolak tegas usulan kebijakan ini.
Hal serupa juga dialami warung milik Atim yang juga berdekatan dengan kawasan industri. Ia mengatakan, pekerja-pekerja pabrik memang memiliki preferensi untuk membeli rokok secara eceran. Oleh karenanya, wacana kebijakan ini pasti akan memangkas omzetnya.
"Saya tidak setuju, karena sekitar sini banyak pekerja yang beli rokok ke saya tidak per bungkus tapi per batang. Gaji mereka juga tidak besar, jadi banyak yang beli batangan. Kalau itu juga dilarang, saya dapat tambahan uangnya dari mana? Apalagi barang-barang sekarang sudah makin mahal naik semua," jelasnya.
Sebelumnya Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan larangan penjualan rokok secara ketengan.
"Ini kebijakan yang patut diapresiasi, karena merupakan salah satu cara pengendalian yang efektif untuk menurunkan prevalensi merokok di Indonesia khususnya di kalangan rumah tangga miskin, anak anak dan remaja," kata dia.
Dia mengungkapkan larangan penjualan ketengan juga efektif untuk efektivitas kenaikan cukai rokok.
Sebab selama ini kenaikan cukai tidak efektif untuk menurunkan prevalensi dan konsumsi rokok, karena rokok masih dijual secara ketengan, diobral seperti permen, sehingga harganya terjangkau. Larangan penjualan rokok secara ketengan juga sejalan dengan spirit yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai.