Pemerintah berencana mengenakan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) mulai 2024 mendatang. Rencana ini ternyata masih mendapat pertentangan dari dunia usaha.
Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman, menjelaskan banyak faktor yang memengaruhi tingginya tingkat obesitas dan diabetes atau penyakit tak menular (PTM). Menurutnya, konsumsi gula atau pemanis dalam minuman bukan menjadi penyebab utama risiko penyakit tersebut.
"Kalau dikenakan (cukai) kok menurut kami nggak pas. Kalau yang mau disasar PTM, banyak bukti-bukti yang tidak sinkron dengan itu. Apalagi sumber gula itu tidak hanya dari MBDK saja." jelas Adhi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut sedikitnya lima alasan pengusaha tak setuju minuman berpemanis dikenakan cukai:
1. Kontribusi kecil
Adhi beranggapan bahwa penerapan cukai terhadap MBDK kurang tepat karena rendahnya kontribusi gula dalam MBDK yang dikonsumsi manusia. Tingginya konsumsi gula harian dari makanan dinilai berkontribusi lebih besar dibandingkan dari asupan minuman.
"Dari Susenas tahun 2022, asupan energi dari minuman itu hanya sekitar 6,5 %, kecil sekali. Jadi, kalau kita lihat dari data-data itu, asumsi kita dari perkiraan itu MBDK itu hanya sekitar 1% dari total konsumsi kita yang besar kalorinya itu yang diasup oleh masyarakat itu berasal dari makanan segar, makanan rumah tangga, seperti nasi, misalnya. Itu gulanya tinggi. Kemudian, buah-buahan, makanan lainnya, makanan rumah tangga, katering dan lainnya," ujar Adhi dalam d'Mentor, Kamis (5/10/2023).
2. Tidak efektif
Pengusaha juga beranggapan bahwa penerapan cukai terhadap MBDK tidak efektif menurunkan PTM karena banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko obesitas dan diabetes. Adhi menilai bahwa asupan gula dalam minuman tidak serta merta menjadi risiko utama PTM.
"Sumber gula itu banyak dan obesitas dan diabetes itu tidak semata-mata karena gula. Bisa karena turunan, bisa karena kurang beraktivitas, bisa karena disebabkan oleh penyakit lainnya. Bisa karena psikologis dan lain sebagainya. Tidak karena satu-satunya gula yang diasup oleh MBDK," ujar Adhi.
Adhi juga menyebut, bahwa data di banyak negara yang menerapkan cukai berpemanis, angka penyakit tak menularnya tetap naik.
3. Pilih edukasi
Adhi menilai, edukasi sejak dini kepada masyarakat akan lebih tepat sasaran untuk mengurangi risiko PTM atau diabetes di masyarakat. Menurutnya, pola konsumsi asupan rendah gula dinilai lebih efektif dalam mencegah PTM laiknya yang sudah dijalankan di negara tetangga, seperti Singapura akan lebih efektif.
"Kita meniru success story kenapa (tubuh masyarakat) Singapura ramping-ramping ini, tidak obesitas, karena dididik melalui pendidikan dasar di mana anak kalau datang ke sekolah, gendut, dia disuruh keliling lari dulu, baru sekolah. Kemudian, produk yang dijual di sekolah tidak boleh dari 8%." katanya.
"Sekarang, diturunkan jadi 6%. Khusus untuk sekolah. Jadi, sekolah itu menjadi tempat pendidikan. Kalau ini sudah dididik dari sekolah, dari kecil nggak (minum minuman) manis-manis. Jadi, produsen ini akan menjual yang tidak manis," lanjut Adhi.
Pengusaha sendiri mengaku sudah memberikan edukasi kepada masyarakat melalui pemberian label fakta nutrisi sesuai dengan Permenkes nomor 30 tahun 2013. Menurut Adhi, produsen juga telah mencantumkan front of fact label dengan menyertakan tingkat kandungan gula, lemak, dan natrium di kemasan bagian depan. Harapannya, konsumen mempertimbangkan kembali berapa besaran konsumsi gula harian sebelum membeli.
Dengan edukasi, masyarakat diyakini akan lebih selektif dalam membeli, sehingga pada akhirnya produsen akan mengikuti selera konsumsi masyarakat.
4. Perlambatan industri
Pengusaha juga menyebut kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat saat ini membuat pembelian pangan sekunder lesu. Adhi beranggapan bahwa dengan disahkannya kebijakan cukai MBDK akan mengancam industri pangan siap saji. Tingkat kepercayaan industri pun dikhawatirkan makin turun.
"Tahun lalu kita 4,9. Semester lalu 4,6, tapi jangan lupa dalam beberapa bulan terakhir ini kami merasakan masyarakat sedikit sepi. Masyarakat sepi karena setelah kita amati ternyata memang kelas menengah ke bawah ini daya belinya agak turun. Mungkin, karena makanan pokoknya naik (harga) luar biasa, beras, minyak goreng, daging, gula sehingga untuk mempertahankan hidupnya mereka mengurangi konsumsi pangan sekunder," jelas Adhi.
5. Daya saing industri
Negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, tidak memberlakukan cukai MBDK. Pengenaan cukai MBDK dianggap menjadi ancaman persaingan dengan kedua negara tersebut bagi pengusaha.
"Saya khawatirkan adalah daya beli dan daya saing. Kalau kita kenakan cukai, sedangkan Singapura dan Malaysia tidak. Mereka akan lebih berfoya-foya mengalahkan daya saing kita. Singapura itu healthier choice," tekan Adhi.
Sementara di Filipina dan Thailand, cukai MBDK telah diberlakukan. Thailand menerapkan cukai bagi MBDK dengan kandungan gula di atas 8% dan Filipina mengenakan cukai 10 Peso per liter untuk MBDK secara umum. Cukai yang diterapkan di Filipina berhasil membuat produsen mereformulasikan produknya sehingga kandungan gula di dalam produk berkurang.
(eds/eds)