Hasil Survei Kendaraan Listrik di RI: Tinggi Peminat tapi Ragu soal SPKLU

Hasil Survei Kendaraan Listrik di RI: Tinggi Peminat tapi Ragu soal SPKLU

Samuel Gading - detikFinance
Selasa, 17 Okt 2023 14:33 WIB
Potret Ilustrasi SPKLU untuk Mobil Listrik yang ada di kawasan Krakatau Stell, Cilegon, Banten.
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Kehadiran kendaraan listrik atau electric vehicle merubah lanskap industri otomotif Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Namun, jika dibandingkan dengan pasar global, geliat industri kendaraan listrik Indonesia ternyata tumbuh lebih lambat. Ada sejumlah hal yang jadi penyebabnya.

Pada Senin (16/10/2023), firma jasa keuangan multinasional, PricewaterhouseCoopers (PWC), merilis laporan bertajuk Indonesia Electric Vehicle Consumer Survey 2023. Survei tersebut dilakukan PwC untuk memberi wawasan kepada publik tentang kesiapan konsumen Indonesia dalam menyingsing kendaraan listrik. Survei dilakukan dalam kurun Juni-September 2023 di delapan kota Indonesia dengan responden dari berbagai rentang usia.

PwC Indonesia Automotive Leader Hendra Lie, mengatakan bahwa pasar kendaraan listrik (EV) di Indonesia diperkirakan tumbuh dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini disebabkan meningkatnya permintaan terhadap EV sebab masyarakat mulai sadar pentingnya kendaraan ramah lingkungan dan insentif pemerintah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kendati demikian, Hendra membeberkan bahwa adopsi EV di Indonesia ternyata lebih lambat dibandingkan pasar global. "Oleh karena itu, para pemimpin industri dan pembuat kebijakan sedang mempersiapkan masa depan di mana kendaraan ramah lingkungan dapat memainkan peran utama di pasar," ucap Hendra dalam keterangan resmi PwC, Senin (16/10/2023).

Sejumlah fakta dari riset tersebut adalah sebagai berikut:

ADVERTISEMENT

Tinggi Peminat untuk Jaga Lingkungan

Hendra mengatakan EV semakin diminati karena maraknya kebutuhan untuk mengakomodir isu keberlanjutan lingkungan dan mencegah perubahan iklim. Ia mengatakan sebanyak 87% responden yakin bahwa EV adalah solusi kendaraan yang lebih ramah lingkungan.

"Sebagian besar responden juga setuju bahwa kendaraan ini adalah kendaraan masa depan, terutama karena kekhawatiran terhadap perubahan iklim semakin meningkat dan teknologi EV semakin mudah diakses," bebernya.

Berbeda dengan mobil tradisional yang menghasilkan gas rumah kaca, EV tidak menghasilkan emisi an mengurangi jejak karbon secara signifikan khususnya di wilayah perkotaan. Hal ini menjadi solusi ketika kota-kota besar di seluruh dunia sedang berjuang melawan polusi udara yang sebagain besar disebabkan oleh emisi kendaraan.

"Meningkatkan kualitas udara merupakan pemikiran setiap orang, terutama mereka yang menduduki jabatan di pemerintahan. Kota-kota di seluruh dunia sedang berjuang melawan polusi udara, yang sebagian besar disebabkan oleh emisi kendaraan," ungkapnya.

Teknologi yang Adaptif

Hendra kemudian menjelaskan bahwa sebagian besar responden melihat bahwa EV adalah kendaraan masa depan. Kehadiran berbagai teknologi baru membuat EV menarik. Mulai dari mesin yang lebih senyap senyap (85%), teknologi inovatif (76%), dan aspek menarik yang belum pernah ada sebelumnya (82%).

"Ketiga hal itu adalah tiga fitur utama EV yang tidak dapat ditiru di kendaraan berbahan bakar fosil," ucapnya.

Selain itu, teknologi baterai solid-state yang sedang dikembangkan memungkinkan konsumen memiliki waktu berkendara lebih lama dengan EV. Waktu pengisian ulang yang lebih cepat, peningkatan keselamatan, serta inovasi pengisian daya wireless atau nirkabel juga bisa meningkatkan fleksibilitas dan berkendara otonom.

"Kemajuan mutakhir ini, terutama dalam teknologi baterai dan efisiensi secara keseluruhan, dapat mengurangi biaya perawatan dan memperpanjang umur kendaraan," sambung Hendra.

Ragu-Ragu Soal Infrastruktur

Namun, di tengah berbagai respon positif publik menyambut EV, Hendra mengatakan keraguan konsumen untuk mengadopsi EV masih terlihat di sejumlah hal, khususnya soal ketersediaan infrastruktur.

Pertama, mayoritas responden merasa khawatir soal ketersediaan stasiun pengisian daya kendaraan listrik umum (SPKLU) untuk mobil (63%) maupun sepeda motor (52%). Khususnya di daerah-daerah terpencil untuk mobil (54%) dan sepeda motor (47%).

"Hal ini menunjukkan perlunya infrastruktur pengisian daya yang merata untuk memenuhi kekhawatiran konsumen," ucap Hendra.

Walaupun daya tarik masyarakat untuk menggunakan EV semakin besar, Hendra mengatakan kekhawatiran konsumen dapat mempengaruhi tingkat penggunaan EV secara signifikan. Apalag isoal biaya pemeliharaan yang paling mahal dalam jangka panjang.

Kedua, menurutnya, 87% responden paling takut soal mahalnya biaya penggantian baterai. 83% cemas akan mahalnya harga suku cadang. 66% lainnya khawatir soal pengeluaran tidak terduga. Adapun 59% responden, khawatir soal biaya perawatan rutin.

Dari hasil riset PwC, ditemukan pengisian daya menjadi salah satu pertanyaan penting untuk responden saat hendak menggunakan EV. 75% responden lebih memilih mengisi ulang kendaraan di SPKLU terdekat. Sementara 69% responden lainnya lebih memilih mengisi ulang kendaraan EV di rumah masing-masing. Namun, khusus poin terakhir, soal kenaikan tagihan listrik pun menjadi pertimbangan besar para responden.

"Pemahaman yang lebih mendalam mengenai kekhawatiran ini sangat penting bagi produsen, pembuat kebijakan, dan pemangku kepentingan lainnya, agar dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan konsumen di Indonesia secara efektif," jelas Hendra.

Oleh sebab itu, PwC lantas menyarankan agar pemerintah berupaya terus memberi insentif untuk menentukan arah adopsi EV oleh masyarakat. Untuk mendorong pasar, dibutuhkan upaya bersama antara pemerintah dan sektor swasta.

Kolaborasi lintas sektor juga diperlukan untuk memperluas infrastruktur pengisian daya secara nasional dan stasiun pengisian cepat atau SPKLU di berbagai jalan raya. Di saat yang sama, PwC menilai produsen pun harus fokus pada peningkatan teknologi baterai untuk mengurangi waktu pengisian daya. Inovasi seperti supercharger telah mencapai kemajuan signifikan ke arah ini.

Adapun rekomendasi terakhir, adalah pentingnya menggenjot kampanye kesadaran komprehensif yang menyoroti kemajuan teknologi kendaraan listrik. Pemberian pemahaman mengenai manfaat biaya jangka panjang dan dampak positif EV terhadap lingkungan juga diperlukan untuk mengubah persepsi publik terhadap kendaraan listrik.

"Transisi ke EV tidak bisa dihindari, namun kecepatan transisi ini bergantung pada penanganan kekhawatiran konsumen," pungkas Hendra.

(das/das)

Hide Ads