Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif terus dibahas pemerintah. RUU tersebut bakal memperketat regulasi terkait produk tembakau sebagai zat adiktif dan konsumsi rokok elektrik atau vape
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI dr Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, proses pembahasan RUU masih berjalan dan sedang harmonisasi di Kementerian/Lembaga.
"Masih pembahasan peraturan pemerintah turunan UU kesehatan yang baru. Lagi harmonisasi dengan Kementerian atau lembaga lainnya," jelas dr Maxi saat dihubungi, dikutip dari detikHealth, Senin (13/11/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa poin regulasi baru yang kemudian disorot salah satunya pelarangan iklan di media sosial. Regulasi ini diharapkan bisa menekan kasus perokok anak yang dalam beberapa waktu terakhir meningkat lebih dari 4 juta.
Di sisi lain, iklan di internet dianggap menormalisasi bahaya rokok dan dikhawatirkan bisa berpengaruh pada peningkatan kasus perokok pemula di usia anak.
Pelarangan Iklan
Pengetatan iklan rokok sejalan dengan prioritas nasional pengendalian konsumsi produk tembakau di RPJMN 2020-2024. Prevalensi perokok anak diharapkan bisa ditekan dari semula 9,1 persen menjadi 8,7 persen per 2024.
"Fakta yang sangat mengkhawatirkan adalah peningkatan prevalensi perokok anak di Indonesia saat ini sebesar 4,39 juta," beber Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI Eva Susanti, saat dihubungi detikcom Senin (13/11/2023).
Dalam RPP pasal 440, disebutkan orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan produk tembakau, rokok elektronik, dilarang mengiklankan di media luar ruang situs, aplikasi elektronik komersial, media sosial, dan tempat penjualan produk tembakau, rokok elektronik.
"Pelarangan Iklan produk tembakau dan rokok elektronik untuk perlindungan anak dan remaja dari paparan iklan menarik, dapat mempengaruhi mereka untuk mencoba merokok dan memulai kebiasaan yang berbahaya ini pada usia yang sangat muda," kata Eva.
Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) di 2019 menunjukkan kelompok remaja 13 hingga 15 tahun di Indonesia terpapar iklan dan promosi rokok di berbagai media antara lain:
- Televisi (65,2%)
- Tempat penjualan (65.2%)
- Media luar ruang (60,9%)
- Media sosial dan internet (36,2%)
Standar Baru Batas Nikotin dan Tar
Aturan pengetatan rokok saat ini tengah berjalan dengan diskusi bersama antar kementerian dan lembaga, hal yang kemudian juga menjadi perhatian adalah Kemenkes RI menetapkan standar maksimal nikotin dan tar. Jelas tertuang dalam Pasal 452 Ayat 2.
Regulasi tersebut diusulkan untuk dihapus, bahkan jika tidak, diganti ke standar nasional Indonesia (SNI). Kemenkes RI disebut Eva menegaskan penolakannya. Penerapan kadar nikotin dan tar sesuai SNI diyakininya malah bertentangan dengan tujuan pengendalian konsumsi produk tembakau dan rokok elektronik.
"Dalam dokumen BSN telah merumuskan SNI 8946 : 20 21 produk tembakau yang dipanaskan adalah untuk melindungi konsumen, namun tidak satu pun komite teknis penyusunannya melibatkan Kementerian Kesehatan dan BPOM RI," sebutnya.
Pasalnya, aturan kadar maksimal nikotin dan larangan kandungan atau bahan tambahan dibuat demi mencegah adiksi dan ketergantungan serta dampak buruk imbas rokok.
"Perokok akan merasa aman mengkonsumsi rokok elektronik karena sudah ada SNI," tegas Eva.
Sebagai contoh, di banyak negara ASEAN misalnya Brunei Darusalam, pemerintah setempat menetapkan maksimum batas nikotin sebesar 1,3 mg nikotin, 15 mg tar. Singapura 1 mg nikotin, 10 mg tar. Malaysia 1 mg nikotin, 10 mg tar.
Tak Boleh Ada 'Kiddie Pack'
Pengetatan lain tercantum di pasal 427 ayat 5 yang berbunyi:
a. Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Rokok Elektronik padat wajib mengemas atau mengimpor Rokok Elektronik padat dalam kemasan 20 (dua puluh) batang dalam setiap kemasan.
Kemenperin belakangan meminta Kemenkes RI melakukan penyesuaian dengan aturan perundang undangan cukai yakni hanya berlaku pada rokok putih. dr Eva menyebut rokok putih, rokok kretek, hingga jenis rokok lain sama-sama memiliki risiko kesehatan. Artinya, tidak ada pengecualian untuk sejumlah jenis rokok lain.
"Ketentuan minimal 20 batang dalam setiap kemasan bertujuan untuk menekan keterjangkauan anak-anak terhadap rokok. Harga 1 bungkus rokok dengan kurang dari 20 batang, tentunya lebih murah dibandingkan harga 1 bungkus rokok yang berisi 20 batang atau lebih," tutur Eva.
"Semua negara ASEAN sudah melarang kecuali Filipina dan Indonesia belum melarang kiddie pack atau larangan kemasan kurang dari 20 batang per bungkus," lanjutnya.
Pembahasan perketatan regulasi rokok menuai pro-kontra. Pernyataan viral Kemenkumham soal rokok adalah barang legal, sebagaimana disampaikan Dirjen Peraturan Perundang-undangan, Cahyani Suryandari, yang mengutip putusan MK terkait produk rokok, juga tak luput dari sorotan Kementerian Kesehatan.
Menurut Eva, pernyataan yang mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2009 dan 2017 tentang gugatan terhadap UU Penyiaran dan UU Pers yang masih membolehkan iklan rokok, tidak lagi relevan. Terlebih, sejak UU Kesehatan terbaru mencantumkan aturan produk tembakau dan rokok elektronik demi melindungi Kesehatan masyarakat.
"Temuan-temuan ilmu pengetahuan yang baru, ditambah perkembangan teknologi yang memberi kemudahan akses dan tren teknik pemasaran yang semakin terbuka, membuat masyarakat menjadi sangat rentan terhadap produk tembakau yang bebas diiklankan dan dipromosikan," responsnya.
"Dengan argumentasi di atas, kedua putusan MK yang dimaksud sangat mungkin berubah dalam situasi saat ini. Selain itu, yang paling mendasar, putusan penolakan gugatan terhadap UU Penyiaran dan UU Pers dengan empat hakim yang memberikan pendapat yang berbeda atau dissenting opinion di atas berlaku pada kedua UU tersebut dan tidak bisa ditarik secara general," jawab Eva.
(ily/das)