Industri Kreatif Minta Dilibatkan dalam Penyusunan RPP Kesehatan

Industri Kreatif Minta Dilibatkan dalam Penyusunan RPP Kesehatan

Samuel Gading - detikFinance
Selasa, 21 Mei 2024 13:02 WIB
Kemenkeu menargetkan pendapatan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar Rp 230,4 triliun. Salah satunya dengan menaikan tarif cukai rokok.
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Dewan Periklanan Indonesia (DPI) bersama asosiasi industri kreatif lainnya meminta pemerintah agar melibatkan mereka dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) tentang Kesehatan No. 17 Tahun 2023.

Ketua DPI M. Rafiq menjelaskan pihaknya telah berkumpul dan membahas konsekuensi yang akan dihadapi industri kreatif bila pasal tembakau diterapkan di RPP Kesehatan.

Menurut dia, anggotanya masih belum dilibatkan dalam perumusan aturan yang dianggap meresahkan dan mengancam berlangsungnya kehidupan industri kreatif.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Keresahan inilah yang kita tuangkan (lewat surat) dan kirim ke Presiden. Tujuannya bukan menentang, tetapi kita minta untuk dilibatkan, ditanya masukannya untuk menyampaikan potensi atau masalah dari perspektif kita, karena semua bisa diatur dengan baik," ungkap Rafiq dalam keterangannya, Selasa (21/5/2024).

Rafiq mengatakan, pihaknya menilai aturan yang tercantum dalam RPP Kesehatan, khususnya terkait pasal pengaturan produk turunan tembakau akan merugikan keberlangsungan pengusaha iklan lewat aturan yang bersifat restriktif atau membatasi keberlangsungan iklan, promosi, dan sponsor rokok.

ADVERTISEMENT

Baru-baru ini, DPI kembali mengirimkan surat pernyataan sikap dan rekomendasi terhadap RPP Kesehatan yang berisikan penjelasan pasal yang memberatkan kelangsungan industri kreatif seperti pengaturan terkait pengetatan iklan dan sponsor produk tembakau di berbagai media konvensional, media digital maupun pertunjukan seni musik dan budaya.

Rafiq mengatakan larangan itu menghambat keberlangsungan industri periklanan dan media kreatif. Padahal, produk tembakau merupakan komoditas legal yang berhak memasarkan produknya dengan target konsumen dewasa (18 tahun ke atas).

"Saya tidak kebayang kalau konser musik tidak boleh disponsori rokok sehingga tidak ada lagi konser musik ke depannya karena mayoritas kegiatan musik di Indonesia disponsori oleh produk tembakau. Lalu, apakah lantas mereka harus membubarkan diri?" ujarnya.

Untuk itu, selaku ketua DPI, Rafiq mengharapkan pengesahan RPP Kesehatan sebaiknya ditunda terlebih dahulu dengan melibatkan DPI juga seluruh anggotanya dalam penyusunan aturannya sehingga industri kreatif dapat memberikan masukan yang komprehensif agar RPP Kesehatan dapat berjalan dengan baik tanpa mengancam keberlangsungan industri media dan kegiatan ekonomi kreatif di Indonesia.

"Karena selama ini iklan produk tembakau sudah diatur dan kita menerima aturan tersebut, tetapi begitu ada aturan baru, alangkah lebih baik kita dimintakan pendapatnya, ditanya "concern"-nya seperti apa sehingga RPP Kesehatan ini bisa disahkan tanpa mengorbankan media penyiaran, elektronik, luar ruang, dan teman-teman yang selama ini mencari nafkah di ekonomi kreatif," ucap Rafiq.

Adapun, surat dan rekomendasi sikap DPI terhadap pasal pengaturan produk turunan tembakau di RPP Kesehatan tersebut ditujukan langsung kepada Presiden Joko Widodo dan ditembuskan kepada sejumlah menteri terkait karena nihilnya partisipasi bermakna dan pelibatan sektor industri kreatif dalam penyusunannya.

DPI menilai berbagai pelarangan yang dituangkan pada pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan dikhawatirkan kontradiktif dengan pernyataan Presiden yang telah memprediksikan industri kreatif untuk berperan sebagai tulang punggung tulang punggung perekonomian di masa depan sekaligus mendorong semua pihak untuk terus memacu perkembangannya.

(rrd/rir)

Hide Ads