Ada sebanyak 3,4 juta hektar lahan sawit teridentifikasi masuk dalam kawasan hutan. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, terutama pasal 110A dan 110B.
Ketua Pusat Riset Sawit IPB Budi Mulyanto mengatakan persoalan lahan sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan menjadi akar permasalahan industri kelapa sawit. Pasalnya, ada sebanyak 3,4 juta hektar lahan sawit yang diklaim kawasan hutan.
Lebih rinci, ada 2,4 juta hektar lahan sawit terindikasi masuk dalam pasal 110B dan berimbas pada pengenaan denda sekaligus pengembalian lahan. Budi menyebut pengembalian lahan menjadi kawasan hutan ini dapat menurunkan produksi minyak sawit hingga membuat investor ragu karena tidak adanya kepastian hukum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada 3,4 juta hektar (kebun) sawit diklaim dalam kawasan hutan. Ini bikin persoalan besar dan berpotensi moral hazard. Pengenaan denda administrasi yang sangat tinggi, hingga Rp 6 jutaan per hektarnya. Pengenaan denda sangat tinggi ini tidak normal, berpotensi usaha berhenti dan citra investasi yang buruk buat Indonesia," kata Budi dalam acara Diskusi Publik Pencegahan Maladministrasi dalam Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit, Jakarta Senin (27/5/2024)
Lebih lanjut, Budi menyebut dampaknya tidak hanya sampai di situ. Dia bilang hal ini juga berdampak pada lapangan kerja yang hilang hingga membuat perekonomian Indonesia anjlok.
Apalagi, program pemerintah terbaru mengedepankan biosolar B50. Menurutnya, program tersebut tidak akan tercapai apabila lahan sawit tersebut masih teridentifikasi masuk kawasan hutan.
"Kaitkan dengan program pemerintah baru di bidang energi dan biofuel ini akhirnya menjadi ironi. Masalah utamanya harus beres sebelum kita ngomong B50. Jangan ngomong B50 kalau urusan ini belum beres," imbuhnya.
Senada, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan beberapa perusahaan sawit telah mendapatkan surat tagihan mengenai lahan yang masuk kawasan hutan pasal 110B. Dia menyebut tagihan itu bisa mencapai Rp 96 juta per hektar.
Selain itu, pengusaha hanya dapat menggunakan lahan sawit 1 kali daur atau 25 tahun. Setelahnya, sebanyak 2,4 juta lahan akan dikembalikan sebagai kawasan hutan dan ditanami pohon. Hal ini tentunya memberatkan pengusaha sawit karena akan berdampak pada penurunan produksi kelapa sawit.
Apabila lahan tersebut dikembalikan ke negara, Eddy menyebut produksi sawit akan menurun hingga 3 juta ton per hektar.
"Sudah berjalan 15 tahun dan dikembalikan ke negara harus dihutankan kembali. Kita lihat di lapangan potensi konflik horizontal saling rebutan tanah disitu ada masyarakat karyawan. Itu bahaya sekali. Kedua adalah penurunan produksi, kalau kita rata-rata produktivitas 3 ton berkurang sekitar 7,2 juta ton," kata Eddy.
Di sisi lain, beberapa tahun terakhir produktivitas kelapa sawit masih stagnan. Hal ini dapat dilihat dari total produksi minyak sawit mentah (CPO) dan minyak sawit inti (PKO) selama tiga tahun berturut-turut di angka 51 ribu ton. Padahal konsumsi dalam negeri terhadap produksi terus meningkat.
Berdasarkan data yang dipaparkan, Eddy mengatakan konsumsi dalam negeri pada tahun 2021 tercatat 18,4 ribu ton. Angka ini naik pada tahun 2022 menjadi 21,1 ribu ton. Pada tahun 2023, naik lagi menjadi 23,2 ribu ton.
"Produksi kita stagnan dan cenderung turun. Karena produktivitas tidak naik konsumsi naik terus, maka yang dikorbankan banyak devisa atau ekspor kita," imbuhnya.
(das/das)