Pemerintah Diminta Lindungi Industri Rokok, Ini Alasannya

Pemerintah Diminta Lindungi Industri Rokok, Ini Alasannya

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Jumat, 31 Mei 2024 16:23 WIB
Aktivitas Buruh Rokok di Tengah Rencana Kenaikan Cukai
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Industri tembakau jadi salah satu penopang perekonomian dalam negeri. Industri hasil tembakau (IHT) dengan jutaan pekerja di dalamnya, berkontribusi besar terhadap penerimaan negara dari cukai hasil tembakau serta pajak pertambahan nilai (PPN).

Peringatan hari tembakau sedunia juga menjadi pengingat betapa pentingnya industri tersebut. Meski tujuan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) untuk hidup sehat tanpa tembakau, namun tak dipungkiri konsumsi rokok tidak mungkin bisa dihilangkan.

"Bila konsumsi rokok di Indonesia masih tinggi dan industri tembakau dimatikan, bisa dibayangkan berapa banyak pekerja Indonesia yang akan kehilangan pekerjaan dan berapa banyak negara akan kehilangan pendapatan. Bisa jadi justru ini akan diraup oleh industri tembakau di luar negeri, baik yang legal maupun ilegal," kata Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani (UNJANI) Cimahi, Hikmahanto Juwana, Jumat (31/5/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, hasil tembakau di Indonesia bukan hanya berjalan pada bidang kesehatan saja, tetapi juga sektor ekonomi, sosial, budaya. Jika hasil tembakau dimatikan, sangat dikhawatirkan Indonesia akan bergantung terhadap supply tembakau dari luar negeri, sedangkan Indonesia memiliki sumber daya tembakau melimpah dan perokok aktif Indonesia yang banyak.

Hikmanto mengingatkan bahwa IHT di Indonesia sudah menjadi warisan turun-temurun bangsa Indonesia, sehingga masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tembakau. Pihaknya menegaskan, Indonesia punya kedaulatan termasuk untuk mengatur IHT.

ADVERTISEMENT

"Pengambil kebijakan harus paham betul tujuan mulia dibalik HTTS bila akhirnya hanya mematikan industri tembakau di Indonesia. Jangan sampai pengambil kebijakan mematikan industri tembakau dalam negeri di tengah konsumsi rokok dari masyarakat Indonesia," terangnya.

Sementara, Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Sarmidi Husna berpandangan, HTTS dinilai tidak tepat. Pasalnya, pengkonsumsian barang yang diproduksi dari bahan baku tembakau merupakan sebuah kebiasaan. Jadi, tidak perlu ada deklarasi dalam bentuk penentangan terhadap komoditas tersebut.

"Merokok dapat berhenti kapan saja, misalnya saat puasa. Selama 12 jam perokok dapat menahan diri untuk tidak mengkonsumsi rokok tanpa merasa ketagihan," ujar Sarmidi.

Sarmidi Husna mensinyalir, HTTS merupakan bagian dari agenda rezim kesehatan global yang akan menghancurkan kelangsungan hidup jutaan petani tembakau yang mayoritas Nahdliyin.

Agenda global itu, menurut Sarmidi, harus ada political-will pemerintah untuk melindungi dan menjamin Hak Ekosob keluarga para petani tembakau sebagai penghasil komoditas unggulan.

"Jangan sampai Hak Ekosob para petani terancam dan mereka selalu menjadi 'pesakitan' dengan stigma penguras anggaran kesehatan, penyebab kematian, dan seterusnya," tegasnya.

Sarmidi menegaskan, kebijakan yang terlalu ketat terhadap IHT, akan dapat mematikan IHT dan ekosistemnya, sementara perokok tidak akan berhenti merokok, tetapi mencari jalan lain mengkonsumsi rokok ilegal dan/atau rokok impor.

Apabila hal ini terjadi, kata Sarmidi, akan menambah dampak negatif lainnya seperti menimbulkan peningkatan pengangguran yang dapat memicu masalah sosial politik, mengganggu stabilitas dan keamanan. Sementara eksternalitas negatif yang hendak dikendalikan tidak tercapai.

"Karena itu, agenda tahunan HTTS harus disikapi oleh pemerintah sebagai salah satu unsur penyelenggara negara dalam membuat kebijakan dengan memerhatikan prinsip kemaslahatan dan kesejahteraan rakyatnya," pungkasnya.


Hide Ads