Hari ini buruh menggelar aksi unjuk rasa tolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Aturan tersebut dinilai berdampak pada buruh lantaran mengatur beberapa hal terkait industri tembakau.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FPS RTMM SPSI) Sudarto menilai pemerintah dalam membuat aturan sebagai alat untuk tawar-menawar. Menurutnya, implementasi di lapangan tidak sejalan bahkan justru membuat ketidakpastian hukum. Apabila pemerintah ingin membuat stereotip bagi perokok, dia bilang perlu mempertimbangkan dampaknya bagi tenaga kerja di industri tersebut.
Misalnya, larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari pusat pendidikan dan tempat bermain anak yang tertuang dalam pasal 434 PP 28/2024. Menurut dia, aturan tersebut belum tertulis jelas yang dimaksud tempat pendidikan seperti apa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya bicara radius 200 meter. Saya bilang, itu kan implementasi lapangannya nggak sesederhana hanya ditulis di aturan contoh, di situ sudah ada warung rokok berikutnya ternyata, ada orang buka les di situ ternyata tadi diurai, yang dimaksud itu tempat pendidikan itu apa memang juga belum dijelaskan," kata Sudarto saat ditemui di depan Kantor Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kamis (10/10/2024).
Kemudian aturan terkait kemasan rokok polos tanpa merek yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari PP No. 28 Tahun 2024. Dia menjelaskan aturan tersebut dapat memicu rokok gelap di tengah masyarakat. Sebab, masyarakat tidak dapat membedakan kelas-kelas rokok.
"Karena argumen kita mengatakan begini kalau rokok itu polos, kita mana taju rokok ini kelas A, kelas B, kelas C golongan 1, golongan 2, golongan 3, bahkan termasuk rokok gelap. Kan buat negara sendiri susah. Padahal rokok itu ada kelompok golongannya, grid-grid-nya," jelasnya.
Sebagai informasi, rencana pemerintah menerapkan aturan standarisasi kemasan atau kemasan polos tanpa rokok menuai polemik, termasuk kalangan industri tembakau. Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyampaikan aturan tersebut berpotensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) baik di industri tembakau maupun industri pendukungnya.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin Merrijantij Punguan mengatakan apabila kebijakan tersebut diterapkan akan terjadi penurunan produksi yang cukup signifikan. Padahal warung-warung kelontong hampir sebagian penjualan hariannya berasal dari rokok.
Selain itu, larangan berjualan produk tembakau radius 200 meter dapat menyebabkan outlet penjualan menjadi berkurang. Imbasnya, keuntungan penjualan harian menjadi berkurang.
(rrd/rrd)