Pengusaha Minta Pemerintah Evaluasi Peraturan Karantina Baru, Ini Alasannya

Pengusaha Minta Pemerintah Evaluasi Peraturan Karantina Baru, Ini Alasannya

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Selasa, 29 Apr 2025 11:40 WIB
Pekerja tengah menyelesaikan mebel furniture di kawasan Kemang Timur, Jakarta Selatan, Selasa (03/02/2015). Berdasarkan data UN Comtrade 2013, terkait peringkat negara eksportir mebel terbesar di dunia, Indonesia menempati posisi ke-18 dengan nilai ekspor US$ 1,8 miliar atau hanya 0,375% dari pasar dunia untuk mebel dan US$ 800 juta untuk produk kerajinan. Ekspor mebel Indonesia masih sangat rendah pun dikritik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Foto: Rengga Sancaya
Jakarta -

Pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menolak pemberlakuan Peraturan Badan Karantina Indonesia Nomor 5 Tahun 2025 dalam bentuknya saat ini, karena dinilai menghambat ekspor, membebani pelaku usaha, dan berpotensi merusak daya saing produk nasional di pasar global.

Ketua Umum HIMKI, Abdul Sobur, menegaskan bahwa peraturan tersebut menimbulkan tambahan biaya tinggi, prosedur yang berbelit, dan risiko besar keterlambatan ekspor, yang ironisnya justru bertolak belakang dengan program nasional percepatan ekspor industri kreatif.

"Kami mempertanyakan dasar penyusunan aturan ini yang tidak memperhatikan karakteristik industri mebel dan kerajinan. Mayoritas pelaku usaha di sektor ini adalah UMKM berbasis bahan alami, bukan komoditas mentah yang berisiko karantina tinggi," ujar Sobur dalam keterangan resminya, Selasa (29/4/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, ada beberapa dampak negatif dari peraturan tersebut terhadap industri mebel dan kerajinan. Pertama peningkatan biaya produksi akibat kewajiban sertifikasi karantina terhadap produk yang sudah melalui proses manufaktur. Kedua, gangguan logistik ekspor yang menyebabkan keterlambatan pengiriman ke buyer internasional.

Ketiga, turunnya daya saing Indonesia dibanding Vietnam, Malaysia, dan Filipina yang lebih progresif dalam simplifikasi ekspor, dan terakhir potensi hilangnya kontrak ekspor.

ADVERTISEMENT

"Ancaman hilangnya kontrak ekspor karena ketidakpastian prosedur dan lead time," katanya.

Abdul memandang penerapan peraturan ini tanpa mekanisme khusus untuk barang jadi sebagai bentuk kebijakan yang tidak adil, yang menempatkan produk industri kreatif setara dengan bahan mentah, dan ini berpotensi menurunkan kontribusi ekspor sektor ekonomi kreatif nasional.

"Kami mengingatkan, keberhasilan ekspor Indonesia tidak cukup hanya dengan promosi dan pameran. Diperlukan kebijakan yang konsisten, sinkron, dan berpihak pada pelaku industri," tambah Sobur.

Atas dasar tersebut, HIMKI secara resmi mendesak pemerintah untuk:

1. Menunda implementasi peraturan ini sampai ada revisi dan konsultasi dengan sektor industri terdampak.
2. Mengecualikan produk finished goods dari ketentuan wajib pemeriksaan karantina fisik.
3. Menyusun regulasi yang mendukung kemudahan ekspor dan pertumbuhan sektor mebel dan kerajinan nasional.
4. Melakukan koordinasi lintas kementerian agar kebijakan perdagangan tidak kontradiktif satu sama lain.

(igo/fdl)

Hide Ads