Baja Impor Vietnam dan China Ancam Industri RI

Baja Impor Vietnam dan China Ancam Industri RI

Ardan Adhi Chandra - detikFinance
Jumat, 18 Jul 2025 08:05 WIB
Ketua Umum ISSC, Budi Harta Winata
Ketua Umum ISSC, Budi Harta Winata/Foto: Dok. ISSC
Jakarta -

Indonesian Society of Steel Construction (ISSC) atau Masyarakat Baja Konstruksi Indonesia khawatir terhadap derasnya arus impor baja konstruksi dari Vietnam dan China ke Indonesia. Kondisi ini menyebabkan gangguan serius terhadap keberlangsungan industri baja nasional yang selama ini berupaya menjaga kualitas dan mematuhi regulasi pemerintah.

"Sekarang ini kita kebanjiran produk impor dari Vietnam dan China. Hal ini sangat mengganggu keberlangsungan industri konstruksi baja dalam negeri," ujar Ketua Umum ISSC, Budi Harta Winata dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (18/7/2025).

Budi menjelaskan banyak pelaku industri baja nasional kini kesulitan mendapatkan proyek karena kalah bersaing dari segi harga dengan baja impor. Padahal, harga bukan satu-satunya tolok ukur, sebab produk baja dalam negeri dirancang mengikuti ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) 2020 yang mengatur bentuk, spesifikasi, hingga standar ketahanan terhadap gempa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Budi, masih ada persepsi yang keliru bahwa produk baja lokal dianggap mahal. Padahal, mahal tidak selalu identik dengan pemborosan, melainkan disesuaikan dengan ketentuan pemerintah, kebutuhan mutu dan keselamatan bangunan.

"Ada salah persepsi kalau konstruksi baja dalam negeri itu dibilang mahal. Bukan mahal, tapi memang secara bentuk dan spesifikasinya berbeda karena harus mengacu pada peraturan SNI tahun 2020 terkait desain hingga standar tahan gempa," ucap Budi.

ADVERTISEMENT

Budi menambahkan, untuk proyek-proyek pemerintah, saat ini penggunaan baja lokal masih relatif aman karena memang diwajibkan mengacu pada SNI. Namun, ia mengungkapkan adanya penurunan permintaan yang signifikan akibat penghematan anggaran di sektor pemerintah.

"Saat ini terjadi penghematan anggaran yang membuat permintaan pekerjaan mengalami penurunan. Ketika pekerjaan dari pemerintah, terutama dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU), tidak ada, kita tentu berharap dari proyek-proyek swasta," katanya.

Namun, dari awal tahun hingga pertengahan 2025, Budi menyebut belum ada pekerjaan signifikan yang diterima, baik dari sektor pemerintah maupun swasta. Kondisi ini semakin diperparah oleh keberadaan baja impor yang tidak mengikuti standar nasional, namun tetap digunakan karena harganya lebih murah.

"Dari Januari sampai sekarang, belum ada pekerjaan dari pemerintah, sedangkan pekerjaan dari swasta juga tidak ada karena kita kalah dengan produk baja dari Vietnam dan China. Spesifikasi produk mereka lebih kecil, tidak sesuai SNI, dan ini sangat mengganggu produksi baja dalam negeri," lanjut Budi.

Budi menyoroti ketidakadilan dalam penerapan regulasi antara produk baja lokal dan impor. Ia mengusulkan agar pemerintah menegakkan peraturan secara konsisten terhadap semua produk baja yang masuk ke pasar domestik.

"Mestinya harus ada peraturan yang sama biar adil. Jangan kita konstruksi baja lokal harus mengikuti aturan, sedangkan yang dari luar negeri itu tidak pakai aturan itu," sambung Budi.

Budi mengatakan produsen dalam negeri sebenarnya mampu memproduksi baja serupa dengan yang diimpor, bahkan dengan harga lebih murah karena tidak ada biaya pengiriman. Namun, industri dalam negeri memilih tidak mengambil jalur tersebut karena mempertahankan integritas terhadap standar mutu.

"Kami bisa saja membuat produk seperti dari Vietnam dan China dengan harga yang pasti jauh lebih murah karena tidak ada ongkos kirim, tapi kan kita tidak berani karena itu tidak sesuai standar SNI," ucap Budi.

ISSC tidak menolak kehadiran produk asing, tetapi menginginkan persaingan yang sehat dan adil.

"Kita bukan anti asing, tapi kita ingin adanya persaingan yang sehat. Kalau mereka boleh bikin produk baja seperti itu, harusnya kita juga boleh. Kalau memang tidak boleh karena tidak ada SNI, harusnya mereka tidak boleh masuk dong," ucap Budi.

Budi juga menekankan pentingnya konsistensi dalam penerapan regulasi terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan SNI. Ia menyayangkan produk lokal yang sudah mematuhi dua aspek penting tersebut justru kalah bersaing karena pemerintah tidak tegas menolak produk yang tidak memenuhi standar tersebut.

"Kita mendorong adanya konsistensi dalam menerapkan aturan. Kita selama ini patuh menerapkan produk sesuai SNI dan TKDN, tapi kenyataannya produk yang tidak memiliki TKDN justru itu yang dipakai di Indonesia," kata Budi.

ISSC berharap pemerintah segera mengambil langkah strategis untuk melindungi industri baja nasional, termasuk dengan memperketat pengawasan terhadap produk baja impor yang tidak memenuhi standar, serta memberikan insentif dan perlindungan lebih kepada produsen lokal yang telah taat pada regulasi nasional.

Tonton juga video "Trump Kenakan Tarif 25 Persen untuk Impor Baja-Aluminium dari Semua Negara" di sini:

(ara/ara)

Hide Ads