Pelaku industri tekstil dan benang filamen kembali menyuarakan keresahannya. Dalam audiensi dengan Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan (BK Kemendag), mereka mengungkapkan kondisi industri yang semakin terpuruk akibat penolakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) dan membanjirnya impor ilegal dari China.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Farhan Aqil menyebutkan bahwa saat ini pengusaha hanya berjuang agar pabrik tetap hidup. Keuntungan sudah bukan lagi prioritas, bahkan banyak yang datang bukan lagi sebagai pengusaha, melainkan sebagai pejuang bertahan.
"Ini bukan lagi soal bisnis. Banyak dari kami datang bukan sebagai pengusaha, tapi sebagai orang-orang yang sudah berjuang menjaga pabrik tetap hidup," kata Farhan dalam keterangannya, Senin (4/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Farhan menyebutkan banyak pabrik mulai menutup operasi secara diam-diam, kontrak dibatalkan, dan rencana investasi kandas. Ribuan pekerja pun kehilangan mata pencaharian. Ia mengaku pemerintah seperti tak melihat apa yang terjadi di lapangan.
"Kami bercerita bagaimana pabrik-pabrik mulai tutup diam-diam, kontrak dibatalkan, investasi batal, ribuan pekerja kehilangan pekerjaan. Dan saat itu kami merasa, pemerintah seperti tidak melihat," ujarnya.
Menurut Farhan, keputusan pemerintah menolak BMAD menjadi pukulan telak bagi industri yang tengah berjuang pulih. Banyak rencana investasi yang akhirnya dibatalkan karena iklim usaha dianggap tidak kondusif.
"Dalam pertemuan dengan Badan Kebijakan Perdagangan Kemendag, kami sampaikan bahwa penolakan BMAD membuat banyak rencana investasi langsung batal. Investor asing sudah datang ke lokasi pabrik dan berkomitmen, kini menarik diri. Bagi mereka, tidak ada jaminan iklim usaha yang fair jika barang impor terus masuk tanpa hambatan," paparnya.
Ia menilai seharusnya kebijakan ini menjadi momentum kebangkitan. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Investor asing yang sudah sempat mengunjungi lokasi produksi dan menunjukkan antusiasme, langsung membatalkan rencana mereka begitu tahu BMAD ditolak.
"Harusnya BMAD ini jadi momentum kebangkitan. Ada investor asing yang sudah datang langsung ke lokasi, melihat potensi mesin-mesin produksi yang bisa dihidupkan kembali. Bahkan sudah ada kunjungan CEO dari perusahaan tekstil multinasional, mereka antusias, tapi begitu tahu BMAD ditolak, semuanya batal," lanjut Farhan.
Data APSyFI menunjukkan impor benang filamen meningkat tajam hingga 70-300% sejak 2017, tergantung jenis produk. Ini menjadi indikator keruntuhan pelan-pelan industri dalam negeri. Akibatnya, banyak pelaku industri kini menghadapi kredit macet, mesin mangkrak, hingga penurunan kepercayaan generasi muda terhadap sektor manufaktur.
"Banyak pekerja sudah kehilangan pekerjaan. Anak-anak muda gak mau lagi kerja di pabrik, karena mereka lihat sendiri bagaimana masa depan industri ini seperti jalan buntu," tambahnya.
Farhan menilai kondisi ini bisa menjadi sinyal awal deindustrialisasi di sektor tekstil. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah bisa mengambil kebijakan berdasarkan kajian menyeluruh, bukan hanya untuk memenuhi kepentingan satu pihak.
(hal/rrd)