Terungkap Biang Kerok Perusahaan Tekstil Terpaksa Tutup Pabrik di Karawang

Terungkap Biang Kerok Perusahaan Tekstil Terpaksa Tutup Pabrik di Karawang

Anisa Indraini - detikFinance
Senin, 28 Jul 2025 21:49 WIB
Pengunjung memerhatikan mesin tekstil dan garmen yang ditampilkan dalam pameran Indo Intertex ke-20 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (21/3/2024). Pameran internasional teknologi tekstil dan garmen terbesar di Asia Tenggara itu diikuti 600 perusahaan dari 16 negara yang berlangsung hingga 23 Maret 2024. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Spt.
Ilustrasi pabrik polyesterFoto: ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Jakarta -

Industri tekstil nasional kembali menerima pukulan berat setelah pabrik kimia dan serat polyester milik PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) di Karawang resmi menutup pabrik.

Pemicunya adalah banjir barang impor dan kebijakan pemerintah yang belum berpihak secara menyeluruh pada ekosistem industri hulu-hilir.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil mengatakan penutupan itu terjadi karena perusahaan tidak mampu lagi menjual produknya secara optimal di pasar domestik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, masuknya impor benang secara besar-besaran membuat serat polyester produksi dalam negeri tidak terserap oleh pasar.

"Pabrik di Karawang itu memproduksi serat polyester yang kemudian diproses menjadi benang, tetapi karena impor benang sangat tinggi, APF kesulitan distribusi. Kami mencatat sekitar 60 perusahaan terdampak sejak tahun 2022 hingga 2024, mayoritas di sektor benang dan kain," kata Aqil dalam keterangan tertulis, Senin (28/7/2025).

ADVERTISEMENT

Tak hanya itu, persoalan utang yang belum selesai juga disebut memperburuk situasi. Ia menyebut meskipun APF ingin melunasi kewajibannya, pembayaran tetap diminta utuh tanpa melihat kemampuan saat ini.

"Jadi tidak apple to apple. APF ingin menyelesaikan utangnya, tapi yang diminta justru lebih besar dari tanggung jawab mereka saat ini," lanjutnya.

Aqil menilai penutupan APF mencerminkan masalah struktural yang selama ini membelit industri tekstil nasional.

Ia menyayangkan pendekatan kebijakan yang selama ini cenderung berpihak pada sektor hilir seperti industri pakaian jadi, dengan alasan serapan tenaga kerja, tetapi mengorbankan kekuatan fondasi di sektor hulu. Padahal industri tekstil di Indonesia sudah terintegrasi dari hulu hingga hilir sehingga menjadi satu kesatuan.

Perlindungan pasar domestik sangat penting di tengah tantangan global seperti pembebasan tarif bea masuk ekspor dari perjanjian Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) dan kebijakan tarif impor 19% dari Amerika Serikat (AS). Ia mengingatkan dorongan ekspor produk jadi tidak boleh menekan industri hulu, apalagi jika bahan bakunya malah berasal dari luar negeri.

"Ekosistem tekstil kita sudah terintegrasi dari hulu ke hilir. Mau bikin viscose atau polyester, semua ada. Tapi kalau kebijakan tidak mendukung hulu, seluruh rantai bisa rusak. Nanti yang tumbuh hanya garmen, bahan bakunya semua impor. Itu berbahaya," tegasnya.

Bersambung ke halaman berikutnya. Langsung klilk

Pandangan serupa disampaikan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal. Ia mengatakan Indonesia sebenarnya memiliki rantai pasok tekstil yang lengkap, tetapi lemahnya keterkaitan antar-sektor membuat integrasi ini tidak berjalan optimal.

"Kita sudah punya value chain industri tekstil dari serat sampai pakaian jadi. Tapi kalau kebijakan hanya menguntungkan hilir dan membebani hulu, lama-lama hulunya mati. Kalau ini dibiarkan, kita bisa kehilangan fondasi industri nasional," ujarnya.

Faisal juga menyoroti kebijakan impor yang tidak proporsional. Ia mengakui impor kapas sebagai bahan baku utama masih diperlukan karena keterbatasan produksi dalam negeri, namun untuk produk antara seperti benang dan serat, impor seharusnya dibatasi.

"Kalau produk antara seperti benang atau serat dibiarkan bebas masuk, maka industri hilir pasti pilih impor karena lebih murah. Di sinilah peran negara industri hulu harus diberikan insentif agar bisa menekan harga, misalnya melalui subsidi energi, pajak, atau pembiayaan khusus. Kalau tidak, industri lokal terus tergerus," jelasnya.

Ia juga mengkritik kurangnya sinergi kebijakan lintas kementerian. Tanpa koordinasi yang baik, kebijakan di satu sektor dinilai bisa merugikan sektor lain. Salah satu contohnya adalah keputusan Kementerian Perdagangan yang tidak memperpanjang Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap serat impor, yang bisa semakin memukul produsen dalam negeri.

"Industri hilir memang lebih banyak menyerap tenaga kerja, tapi unit usahanya relatif kecil-kecil. Sementara hulu itu lebih besar tapi jumlahnya sedikit. Tapi kalau industri hulu hilang, ya tetap saja akan berkurang juga penciptaan lapangan kerja dan makin sempit pula ruang gerak ekosistem industri dalam negeri. Akhirnya, yang terjadi malah sebagian besar ekosistem digantikan oleh produk impor. Itu yang harus dicegah," tukasnya.


Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads