Sekitar 100 ribu ton gula hasil panen petani tebu tak kunjung terserap pasar. Alhasil, hanya menumpuk di gudang-gudang.
Kondisi ini dipicu impor gula berlebih pada awal tahun ini hingga maraknya produk etanol asal luar negeri.
Ketua Umum DPN APTRI (Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) Soemitro Samadikoen menyebut pada Februari 2025 lalu pemerintah telah membuka keran impor gula sebesar 200 ribu ton.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembukaan keran impor ini untuk memenuhi cadangan pangan pemerintah (CPP). Padahal kala itu pemerintah juga sudah menyampaikan targetnya untuk setop impor gula mulai tahun ini. Kondisi inilah yang kemudian menurut Soemitro menimbulkan kebingungan di kalangan pengusaha gula.
Alhasil tak sedikit dari para pengusaha ini yang kemudian mengurangi penyerapan gula dari petani sebagai bentuk antisipasi impor.
"Masalahnya ini bukan hanya kuantitas, tetapi janji tidak impor dan ternyata impor itu membuat keragu-raguan dari pelaku usaha terutama dari yang menyerap gula. Jangan-jangan nanti ada impor lagi," kata Soemitro dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VI DPR, Rabu (20/8/2025).
Firasat buruk para petani tebu ini terbukti benar. Di mana banyak perusahaan mulai mengurangi penyerapan gula mereka yang secara langsung terlihat dari jatuhnya harga gula di tingkat petani saat lelang yang berada di bawah Harga Patokan Petani (HPP) yang telah ditetapkan sebesar Rp 14.500 per kilogram.
"Bulan Juni akhir dan awal Juli itu sudah terjadi gejala-gejala penawaran gula ini ada di bawah Rp 14.500. Tetapi berbagai diskusi dengan pedagang kita tawar-menawar masih bisa sebagian dipertahankan ini. Nah semenjak masuk di bulan Juli-Agustus ini ternyata hampir semua penawaran itu ada di bawah Rp 14.500," jelasnya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan di pasar-pasar, Asosiasi menyimpulkan penurunan penyerapan ini terjadi karena banyak gula impor masih membanjiri para pedagang. Alhasil gula yang mereka produksi jadi tidak terserap dengan baik.
"Di pasar ini ada gula-gula, kalau kita lihat dari fisiknya jelas itu bukan gula kristal konsumsi yang diproduksi oleh pabrik gula. Tetapi dari fisiknya lebut, kecil-kecil, itu jelas gula rafinasi yang sebagian besar itu sudah dikemas dalam plastik tipis yang itu tidak mereknya," papar Soemitro.
"Kalau harganya dijual jelas kurang lebih sama sekitar Rp 17.000 - 17.500 sesuai dengan harga acuan pembelian, kenapa pedagang memilih itu kami meyakini dan menduga dengan sangat bahwa itu pasti dibeli lebih murah dari gula kami karena penawaran pedagang di bawah Rp 14.500, mereka di bawah juga marak gula-gula yang dijual itu tentu bukan gula kristal konsumsi yang diproduksi oleh pabrik-pabrik kita," ucapnya lagi.
Selain gula, Soemitro menjelaskan petani juga terpukul akibat menumpuknya stok tetes tebu atau molasis. Ia mengatakan hal ini terjadi imbas banjir impor etanol, yang merupakan salah satu produk akhir dari pengolahan tetes tebu.
Padahal menurutnya, molasis atau tetes tebu ini lebih rentan daripada gula karena komoditas ini tidak bisa disimpan lama dan harus menggunakan wadah khusus. Sehingga kelebihan stok ini dapat merugikan petani dan pabrik gula lebih jauh dibandingkan kelimpahan stok gula konsumsi.
"Pada saat hari ini (stok gula) 100 ribu ton, jadi kurang lebih dan yang jelas setiap minggu berlebih (bertambah). Ada yang lebih bahaya, yaitu tidak terserapnya molasis. Molasis ini bentuknya cair dan tidak bisa dipindah-pindah kecuali itu di tempat yang memenuhi syarat," tegasnya.
Tonton juga video "Mendag Sita 19 Ribu Bal Baju Bekas Impor Ilegal dari Jepang-China" di sini:
(igo/hns)