Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Robert Pakpahan mengatakan, alasan pembangunan infrastruktur yang menelan biaya ribuan triliun tersebut karena Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara maju, bahkan negara tetangga sekalipun.
"Salah satu keyakinan utama kita perlu membangun infrastruktur adalah infrastruktur index kita yang masih di bawah index rata-rata infrastruktur negara lain," katanya dalam diskusi Forum Merdeka Barat di Jakarta, Jumat (17/11/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembangunan infrastruktur juga tak semata-mata untuk menaikkan peringkat index infrastruktur Indonesia. Berdasarkan riset yang dilakukan Kementerian Koordinator Perekonomian, Robert bilang, rata-rata waktu tempuh perjalanan 100 km di Indonesia mencapai 2,6 jam. Hal ini jauh tertinggal dibanding negara seperti China dan Malaysia yang waktu tempuh untuk jarak yang sama tidak sampai setengah dari yang dimiliki Indonesia.
Bahkan, persentase angkutan kereta api di Indonesia juga sangat rendah atau tidak sampai 10% dari moda transportasi yang ada. Sementara negara lain, porsinya bisa sampai 25%. Hal ini menunjukkan mayoritas transportasi di Indonesia masih menggunakan kendaraan pribadi dibanding yang umum, sehingga menambah potensi kemacetan di jalan.
Kemacetan di jalan tadi kemudian berpotensi menambah biaya logistik di Indonesia, sehingga harga-harga barang pun bisa menjadi mahal. Harga barang yang mahal berpotensi menambah inflasi sehingga bisa mengancam pelemahan daya beli masyarakat.
"Yang paling konkrit adalah waktu tempuh 100 km di Indonesia itu 2,6 jam. Malaysia cuma 1,1 jam dan China 1,2 jam. Anda bisa lihat betapa borosnya kita. Kalau kita bergerak 1,5 jam lebih lama, berapa bensin yang Anda buang sehingga cost of logistic jadi mahal. Jalanan macet, menuju pelabuhan. Sehingga harga mahal, inflasi tinggi dan purchasing power jadi lemah," ungkapnya.
Butuh BUMN dan swasta
Terkait pembiayaaan infrastruktur, saat ini pemerintah memang berharap besar pada kerja sama dengan swasta. Saat ini ada 3 sumber yang diupayakan pemerintah, yakni pembiayaan APBN, penugasan kepada BUMN, dan juga bekerja sama dengan swasta.
Pembiayaan infrastruktur dari APBN sendiri juga terus meningkat sejak 2015. Rata-rata 18-19% atau sekitar Rp 400 triliun dari biaya APBN setiap tahunnya didedikasikan untuk anggaran infrastruktur, lewat alokasi yang dianggarkan ke Kementerian/Lembaga.
Pemerintah juga mengamanatkan pembangunan infrastruktur lewat alokasi dana transfer daerah, dana desa maupun dana alokasi khusus.
"Dalam ketentuannya, 25% dana alokasi khusus itu untuk spending infrastruktur. Dana desa juga untuk infrastruktur, di luar dari anggaran Rp 400 triliun untuk K/L," tutur Robert.
Setidaknya ada 41,3% porsi pembiayaan infrastruktur yang ditanggung oleh pemerintah lewat APBN, 22% BUMN dan sisanya lewat kerja sama dengan swasta. Robert bilang, kerja sama dengan swasta saat ini mulai terlihat menjanjikan seiring dengan sudah direalisasikannya 10 proyek infrastruktur kerja sama dengan swasta.
Tapi dia meyakinkan, pembiayaan lewat utang yang dilakukan pemerintah hingga saat ini terbilang aman. Pasalnya, rasio utang negara terhadap PDB tidak melebihi batas yang ditentukan oleh Undang-Undang atau lebih kecil dari 60%.
"Dengan mudah kita katakan pembangunan infrastruktur di Indonesia akan membawa keuntungan yang banyak buat ekonomi kita. Sepanjang pembangunan kita juga akan menjaga rasio utang terhadap GDP kita yang sudah ditentukan Undang-Undang," pungkasnya. (eds/hns)