Direktur Keterpaduan Infrastruktur Permukiman Kementerian PUPR, Dwityo Akoro Soeranto mencontohkan bagaimana terbatasnya infrastruktur air bersih di Asmat.
"Untuk air minum, sumber air di sana itu terbatas. Selain terbatas, kualitasnya juga jelek. Dulu dukungan yang pernah kita berikan, instalasi pengolahan air, walaupun kapasitasnya kecil, itu belum optimal. Misal kapasitas 10 liter hanya beroperasi 4 liter," katanya dalam konferensi pers di Kementerian PUPR, Jakarta Selatan, Kamis (8/2/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita punya keterbatasan karena disana daerah rawa. Kedua, air sangat terbatas. Di sana sudah ada instalasi pengolahan air yang dibangun 2006. kondisi masih bagus, tapi ada problem dengan pompa in take," ujarnya.
Kata dia, di sana sebenarnya curah hujan cukup tinggi, mencapai 4.000 milimeter per tahun. Iklim kering di sana hanya terjadi 3 bulan, sisanya merupakan bulan-bulan yang intensitas hujannya cukup tinggi. Itu juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan air bersih.
"Hanya ada satu tantangan, air hujan itu miskin mineral. Bagaimana supaya dia sehat," paparnya.
Dalam pemanfaatan air hujan ini juga masih muncul masalah lain karena wilayahnya dekat laut. Hal itu membuat kadar garam dalam air cukup tinggi sehingga jika bersentuhan dengan seng misalnya, akan menciptakan karat dan mengontaminasi air.
"Tantangannya, karena di sana daerah yang dekat laut maka kadar garam tinggi. Untuk itu atap-atapnya (atap rumah dari seng) kita akan cat khusus, yang tidak mengundang mercury," ujarnya.
Menyadari adanya kebutuhan air bersih ini, Kementerian PUPR juga berencana menyediakan instalasi pengolahan air yang baru. Pihaknya akan melakukan pengujian lebih lanjut terkait kelayakan air di sana untuk konsumsi.
"Akan dibangun IPA baru, untuk menambah, jadi ada air tawar, cuma karena ada gambutnya, coklat. Teman-teman menguji, kecuali warna, tapi memenuhi uji baku mutu," tambahnya. (zlf/zlf)