Menurut Fahri, bisa saja LRT di bangun di bawah tanah. Sehingga, tidak ada biaya pembangunan tiang karena mahal.
"Kenapa bikin LRT tiangnya tinggi-tinggi, ya kan. Bikin saja LRT di bawah tanah. Supaya nggak perlu ada biaya tiang. Tiangnya tinggi-tinggi, mahal banget itu," ujar Fahri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, apa alasan pembangunan LRT menggunakan tiang-tiang tinggi? Berikut penjelasannya:
Tiang-tiang ini yang dicurigai oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dibuat tinggi-tinggi dan bikin boros biaya proyek. Fahri heran kenapa LRT tidak dibangun menempel di tanah atau bahkan di dalam tanah sekalian.
Deputi III Bidang Koordinasi Infrastruktur Ridwan Djamaluddin menerangkan, jika dibangun sejajar dengan tanah maka akan bersinggungan dengan banyak perlintasan. Risikonya, lalu lintas jalan terhambat atau operasional LRT yang terhambat.
Padahal, tujuan pembangunan LRT untuk menyediakan alat transportasi serta mengurangi kepadatan lalu lintas.
"Terlalu banyak perlintasan, nanti jadi nggak efisien juga. Tujuannya mengurangi kepadatan lalu lintas kalau banyak perlintasan sebidang nanti salah satu LRT terhambat atau lalu lintas jalannya terhambat," jelasnya di Gedung BPPT Jakarta, Selasa (26/6/2018).
Ridwan bilang, dengan dibuat melayang maka akan mengurangi kemacetan di jalan.
"Iya dong (kurangi macet), kalau banyak perlintasan kan ditutup jalannya," ujarnya.
Dia menambahkan, soal tinggi rendahnya tiang tergantung dari kondisi kemiringan lahan. Menurutnya, hal itu bersifat teknis.
"Kalau itu sangat teknis, paling pas menjawab Adhi Karya karena desain mereka yang bikin, tapi yang pasti terkait operasional karena kelerengan harus tertentu, dia kan banyak perlintasan-perlintas sehingga harus diangkat," ujar Ridwan.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menyatakan, proyek light rail transit (LRT) tidak dibangun di dalam tanah (underground) karena menimbang biaya. Sebab, biaya yang dikeluarkan akan lebih tinggi jika di atas tanah.
"Underground lebih mahal lah," kata Deputi III Bidang Koordinasi Infrastruktur Ridwan Djamaluddin di Gedung BPPT Jakarta, Selasa (26/6/2018).
Memang, pihaknya tak memegang data terkait perbandingan antara LRT bawah tanah, sejajar dengan tanah, maupun di atas tanah (elevated). Namun, Ridwan mengatakan, selain masalah biaya ada pertimbangan teknis lain yang membuat pembangunan tidak di dalam tanah. Dia menyebutkan, karena informasi atau data di bawah tanah juga kurang lengkap.
"Selain biaya, sama masalahnya seperti membangun MRT, informasi bawah permukaan kita kurang lengkap, mesti disurvei," ujarnya.
"Kan harus digali, ada kabel, saluran air macam-macam," sambungnya.
Sementara, pihaknya mengatakan pembangunan LRT tidak dilakukan sejajar dengan tanah karena adanya LRT bertujuan mengurangi kepadatan lalu lintas.
"Terlalu banyak perlintasan, nanti jadi nggak efisien juga. Tujuannya mengurangi kepadatan lalu lintas kalau banyak perlintasan sebidang nanti salah satu LRT terhambat atau lalu lintas jalannya terhambat," ungkapnya.
Terpisah, Pengamat Tranportasi Darmaningtyas menjelaskan, pada umumnya membangun kereta di atas tanah (elevated) justru lebih murah jika dibandingkan dengan di bawah tanah. Bahkan, kata dia, nilai pembangunan di atas tanah separuhnya jika dibanding di bawah tanah.
"Di mana-mana bangun di bawah lebih mahal seperti juga maintenance-nya. Yang normal itu separuhan, jadi katakan misalnya di atas itu misalnya membangun subway 1 km Rp 1 triliun, kalau bangun di atas rata-rata Rp 500 miliar. Jadi umumnya itu di atas itu, separuhnya dari bawah," jelasnya.
Namun, dia menuturkan, nilai itu hanya konstruksi. Sebab, ada faktor lain yang menunjang kemahalan pembangunan seperti pembebasan lahan, keamanan, dan lain-lain.
"Sekali lagi baru menghitung biaya konstruksinya, beton-betonnya itu, belum memasukkan item-item seperti pembebasan lahan, menjaga keamanan gitu-gitu lho," paparnya.
Pembangunan light rail transit (LRT) Jabodebek dibangun melayang (elevated). Sebab itu, terdapat tiang-tiang pada proyek ini.
Direktur Utama PT Adhi Karya Tbk Budi Harto mengatakan, ada sejumlah pertimbangan yang membuat LRT harus dibangun melayang. Dia mengatakan, hal itu disebabkan oleh banyaknya persimpangan di Jakarta.
"Jadi elevated itu karena di dalam kota ini, itu banyak persimpangan. Jadi di samping tol kota nggak mungkin bangun at grade, sampai Jagorawi sampai Cibubur itu nggak mungkin pakai at grade karena ruangnya terbatas," kata dia saat dihubungi detikFinance di Jakarta, Selasa (26/6/2018).
Bukan hanya masalah persimpangan, Budi mengatakan, hal itu disebabkan oleh lahan yang terbatas.
"Juga disamping Tol Bekasi Timur, anda bisa bayangin bagaimana begitu gusurnya tambah banyak kan. Bukan hanya biaya tapi waktu, lahan, dan sebagainya itu," ungkapnya.
Budi mengatakan, pembangunan LRT bisa dilakukan sejajar dengan tanah (at grade) jika pemukiman masih minim. Hal itu akan dilakukan Adhi Karya pada LRT Jabodebek tahap selanjutnya.
"Yang dari Cibubur sampai Bogor itu kita mendesain kira-kira 60-70% bisa at gradekarena di sana pemukimannya belum banyak. Cibubur ke Bogor," ungkapnya.
Dia juga menuturkan, pembangun LRT tidak dilakukan di bawah tanah (underground) karena menimbang biaya yang lebih tinggi.
"Underground lebih mahal lagi," tutupnya.
Biaya pembangunan light rail transit (LRT) untuk setiap jenis konstruksi berbeda-beda. Secara berurutan sampai yang paling mahal ialah sejajar dengan tanah (at grade), layang (elevated), dan bawah tanah (underground).
Direktur Utama PT Adhi Karya Tbk Budi Harto tak menyebut biaya pembangunan masing-masing konstruksi. Namun, dia menuturkan, selisih antara LRT layang dan sejajar dengan tanah ialah Rp 150 miliar per kilometer (km).
Selisih tersebut belum memasukan perhitungan harga tanah.
"Kalau kontruksi di luar tanah ya, at grade sama elevated bedanya Rp 150 miliar," kata dia kepada detikFinance di Jakarta, Selasa (26/6/2018).
Budi mengatakan, selisih antara jalur dalam tanah dan sejajar dengan tanah lebih tinggi lagi. Budi bilang, selisihnya mencapai Rp 250 miliar.
"At grade dengan underground selisihnya Rp 250 miliar," sambungnya.
Budi menuturkan, untuk pembangunan LRT Jabodebek dilakukan secara elevated. Hal ini menimbang banyaknya persimpangan dan lahan yang terbatas.
"Jadi elevated itu karena di dalam kota ini, itu banyak persimpangan. Jadi di samping tol kota nggak mungkin bangun at grade, sampai Jagorawi sampai Cibubur itu nggak mungkin pakai at grade karena ruangnya terbatas," kata dia.
"Juga di samping Tol Bekasi Timur, anda bisa bayangin bagaimana begitu gusurnya tambah banyak kan. Bukan hanya biaya tapi waktu, lahan, dan sebagainya itu," sambungnya.
Direktur Utama PT Adhi Karya Tbk Budi Harto mengatakan, ada kelebihan LRT dibangun elevated. Dia bilang, LRT ini tidak menganggu lalu lintas saat beroperasi nanti. Artinya, LRT tersebut tidak menambah kemacetan jalan.
"Kelebihannya anda bisa bayangkan, kereta di dalam kota Jakarta yang sekarang, KRL itu kan dibangun di bawah dampaknya kan nggak bisa nyebrang, kalau dibuat at grade, LRT menganggu lalu lintas di bawah tambah macet," kata dia kepada detikFinance di Jakarta, Selasa (26/6/2018).
Apalagi, kata dia, waktu tunggu (headway) LRT bisa mencapai 3 menit. Dia bilang, dengan headway sampai 3 menit maka lalu lintas akan parah jika dibangun menempel tanah.
"Kalau di atas, jarak antara kereta itu headway bisa diperpendek hanya 3 menit, bisa Anda bayangkan kalau at grade 3 menit itu kan berarti lalu lintas tidak jalan, tutup semua lalu lintas di Jakarta ini," sambungnya.
Oleh karena itu, dia menuturkan, alat transportasi kereta yang cocok untuk perkotaan ialah tipe konstruksi elevated dan bawah tanah (underground). Tapi, untuk bawah tanah biayanya jauh lebih mahal.
"Karena transportasi kota itu kalau nggak underground, elevated," tutup Budi.
Biaya pembangunan light rail transit (LRT) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sehingga, biaya pembangunan LRT berbeda-beda.
Dikutip detikFinance dari data Kementerian Perhubungan, Selasa (26/6/2018), faktor yang berpengaruh pada biaya pembangunan LRT yakni jenis konstruksi. Kemudian, jumlah stasiun, jumlah rolling stock, dan kapasitas depo.
Lalu, biaya pembangunan dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan seperti struktur sipil, sistem persinyalan (fixed block/moving block), power supply, dan telekomunikasi. Faktor lain ialah tingkat kesulitan lokasi.
Berikut daftar LRT dan biaya pembangunannya di berbagai negara:
1. Green Line LRT Calgary di Kanada
-Capex US$ 169 juta/km
-Panjang Jalur 20 km
-Stasiun 14 unit
-Jumlah kereta 15 unit
-Kebanyakan sejajar dengan tanah (at grade) dan 4 tunnel.
2. LRT North Line Houston di AS
-Capex US$ 53 juta/km
-Panjang jalur 8,5 km
-Stasiun 8 unit
-Jumlah kereta 14 unit
-Kebanyakan sejajar dengan tanah (at grade)
3. LRT Taipei Danhai di Taiwan
-Capex US$ 32 juta/km
-Panjang jalur 9,7 km
-Stasiun 14 unit
-Jumlah kereta 15 unit
-Kebanyakan sejajar dengan tanah (at grade)
4. Dubai Metro di Dubai
-Capex US$ 79 juta/km
-Panjang jalur 76 km
-Stasiun 49 unit
-Jumlah kereta 395 unit
- 80-94% melayang (elevated)
5. Kelana Jaya Line di Malaysia
-Capex US$ 63 juta/km
-Panjang jalur 34,7 km
-Stasiun 25 unit
-Jumlah kereta 120 unit
-80-94% melayang (elevated)
6. Lahore Orange di Pakistan
-Capex US$ 61 juta/km
-Panjang jalur 27,1 km
-Stasiun 26 unit
-Jumlah kereta 135 unit
-80-94% melayang (elevated)
7. Manila Line 7 di Filipina
-Capex US$ 70 juta/km
-Panjang jalur 23 km
-Stasiun 14 unit
-Jumlah kereta 108 unit
-100% elevated
8. Lagos Blue Line di Nigeria
-Capex US$ 46 juta/km
-Panjang jalur 27 km
-Stasiun 14 unit
-Jumlah kereta 60 unit
-100% elevated
9. LRT Jakarta
-Capex US$ 83 juta/km
-Panjang jalur 5,8 km
-Stasiun 6 unit
-Jumlah kereta 16 unit
-100% elevated
10. LRT Jabodebek
-Capex US$ 52 juta/km
-Panjang jalur 44,4 km
-Stasiun 18 unit
-Jumlah kereta 186 unit
-100% elevated
11. LRT Palembang
-Capex US$ 37 juta/km
-Panjang jalur 23,4 km
-Stasiun 13 unit
-Jumlah kereta 24 unit
-100% elevated.