Sejarah Panjang Bandara Kertajati yang Masih Sepi

Sejarah Panjang Bandara Kertajati yang Masih Sepi

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Senin, 15 Apr 2019 18:27 WIB
Foto: Sudirman Wamad
Jakarta - Manajemen Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) merespons pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyebut pembangunan bandara tanpa kajian dasar. Bandara yang terletak di Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka itu saat ini masih sepi.

Berdasarkan keterangan tertulis BIJB seperti dikutip detikFinance, Senin (15/4/2019) bandara yang akrab disebut Bandara Kertajati ini punya sejarah panjang. Ide pembangunan bandara ini muncul tahun 2003 dan digagas warga Jawa Barat (Jabar) khususnya dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jabar. Saat itu, terjadi peralihan jabatan gubernur dari R Nuriana ke Danny Setiawan.

Latar belakang gagasan itu karena jumlah penduduk Jawa Barat yang sudah menyentuh 37 juta diawal 2000-an. Sementara, Bandara Husein Sastranegara Bandung dinilai sudah sangat padat melayani transportasi udara. Lalu, Bandara Soekarno-Hatta yang semula masuk administrasi Jawa Barat beralih karena masuk dalam wilayah pemekaran Provinsi Banten.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Usulan tersebut kemudian ditindaklanjuti Pemprov Jabar dengan membuat studi kelayakan pembangunan pada Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Perhubungan.

"Angin segar didapat. Pada akhirnya 2005 ditetapkan lokasi di Kecamatan Kertajati Majalengka lewat surat Keputusan Menteri Perhubungan bernomor 5 tahun 2005," tulis keterangan tersebut.

Bukan tanpa alasan Kertajati sebagai lokasi pembangunan bandara. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Jawa Barat akan mempolarisasikan tiga kawasan metropolitan. Secara demografis, Majalengka dinilai merupakan titik temu perlintasan dari berbagai daerah pusat ekonomi seperti Bandung, Karawang dan Jakarta.

Berjarak sekitar 80 kilometer dari Bandung atau 180 kilometer dari Jakarta dianggap masuk dalam rencana strategis pemerintah mengembangkan potensi ekonomi di tiga kawasan Jawa Barat.

Tiga kawasan itu, pertama, Cirebon Raya meliputi Cirebon Raya, Majalengka, Kuningan, dan Indramayu atau kita kenal Ciayumajakuning. Kedua, kawasan Bandung Raya dalam lingkup Kota dan Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Kabupaten Sumedang. Ketiga, kawasan Bodebekkapur yakni Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Purwakarta.

Sementara, pembangunan selama ini dititik beratkan di dua kawasan, yakni kedua dan ketiga.

"Sehingga pembangunan kawasan pertama dinilai bisa menjadi harus demi sebuah pemerataan pembangunan yang ujung-ujungnya untuk mengatasi ketimpangan sosial," bunyi keterangan BIJB.

Bandara ini nantinya akan terhubung dengan Pelabuhan Patimban dan Pelabuhan Muarajai Cirebon. Kemudian, akan terhubung juga dengan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu).

"Kajian tersebut kemudian membawa pada sebuah Keputusan Menteri Nomor 34 tahun 2007 tentang penetapan Master Plan BIJB. BIJB dianggap masuk dalam rencana strategis pembangunan ke depannya oleh pemerintah pusat," terang BIJB lebih lanjut.

Keputusan menteri itu kemudian dijadikan bekal bagi Pemprov Jabar untuk memulai pembebasan lahan pada 2009 lalu dengan kebutuhan lahan 1.800 hektar (ha). Kemudian, di tambah aerocity sebagai kawasan yang menunjang operasional bandara seluas 3.480 ha.

Pembebasan lahan di masa kepemimpinan Gubernur Ahmad Heryawan dilakukan secara bertahap. Dari 1.800 ha yang dibutuhkan sampai saat ini 1.040 ha lahan sudah dibebaskan Pemprov Jabar.

Pemerintah Pusat yakni Kementerian Perhubungan langsung ambil bagian lahan untuk memulai pembangunan sisi udara dengan membuat runway atau landasan pacu pada 2013 lalu.

Sisi udara bukan cuma meliputi runway karena ada komponen lain seperti taxi way, apron dan lain-lain. Tidak hanya itu, di sisi udara juga ada Air Traffic Control (ATC) yang dibangun AirNav Indonesia. Nilai investasi untuk kebutuhan sisi udara ini menelan Rp 1,01 triliun.

Selain itu, yang menelan anggaran besar ialah terminal di mana kebutuhannya mencapai Rp 2,6 triliun. Selain konstruksi, anggaran itu untuk modal kerja dan kesiapan operasional.

Pemerintah Provinsi Jabar serius ingin memiliki bandara baru dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 22 Tahun 2013 yang ditandatangani Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Perda itu menelurkan PT BIJB sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Jawa Barat.

"PT BIJB bertanggung jawab melakukan pembangunan sisi darat, pengoperasian, serta pengembangan bandara dan juga mengembangkan kawasan aerocity yang terintegrasi dengan bandara untuk mengembangkan perekonomian di sekitarnya," paparnya.


Lebih lanjut, Pemprov Jabar dan PT Jasa Sarana saat itu langsung berinvestasi senilai Rp 808 miliar. PT Jasa Sarana memiliki porsi Rp 12,5 miliar, sisanya Pemprov Jabar yang disebut sebagai pemegang saham mayoritas.

Sedangkan untuk memenuhi kekurangan PT BIJB berhasil menghimpun dana lewat skema pembiayaan berbasis pinjaman atau loan. Skema inilah PT BIJB bisa menghimpun pinjaman dari tujuh perbankan syariah senilai Rp 906 miliar. Bank tersebut yakni Bank Jateng Syariah selaku lead sindikasi, Bank Sumut Syariah, Bank Jambi Syariah, Bank Jabar Syariah, Bank Kalsel Syariah, Bank Kalbar Syariah dan Bank Sulselbar Syariah.

Skema lain, yakni pembiayaan berbasis ekuitas. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memberikan pernyataan efektif untuk memenuhi kekurangan pembiayaan bandara ini lewat penerbitan reksa dan penyertaan terbatas (RDPT) dengan maksimal Rp 1 triliun.

BIJB menerbitkan RDPT dengan menggandeng PT Sarana Multi Infrastrukur (PT SMI) sebagai financial advisor serta PT Danareksa Investment Management sebagai investment manager. Pemegang RDPT otomatis jadi pemegang saham BIJB.

Lebih lanjut, Bandara Kertajati disebut-sebut akan menjadi bandara terbesar kedua setelah Bandara Soekarno-Hatta. Tantangan bandara yang dibangun oleh PT BIJB dan Angkasa Pura II selaku operator ialah untuk membangkitkan Bandara Kertajati. (dna/dna)

Hide Ads