Ancaman Bambu Runcing, Kemenyan hingga Keris di Pembebasan Lahan Tol

Ancaman Bambu Runcing, Kemenyan hingga Keris di Pembebasan Lahan Tol

Danang Sugianto - detikFinance
Senin, 10 Jun 2019 07:14 WIB
Ancaman Bambu Runcing, Kemenyan hingga Keris di Pembebasan Lahan Tol
Foto: Dok. Jasa Marga
Jakarta - Sejak awal menjabat, Presiden Joko Widodo dikenal sangat serius dalam pembangunan infrastruktur. Ratusan kilo meter (km) jalan baik tol maupun nasional telah membentang mulus di berbagai daerah.

Menurut catatan detikFinance, total panjang jalan tol yang sudah dioperasikan pada periode Oktober 2014-Oktober 2018 saja sudah mencapai 423,17 km. Untuk mengerjakan pembangunan tol sepanjang itu tentu tidak mudah.

Banyak rintangan yang terjadi dan yang paling sering adalah penolakan dari warga setempat. Hal-hal aneh pun terjadi. Seperti ancaman menggunakan bambu runcing hitam hingga bakar kemenyan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Simak berita selengkapnya di halaman berikutnya.

Dalam proyek pembangunan jalan sebenarnya proses yang paling sulit dan memakan waktu adalah pembebasan lahan. Di era Jokowi, pemerintah punya strategi untuk mengatasi itu.

Kasubdit Pengadaan Tanah Direktorat Bina Marga Kementerian PUPR, Sri Sadono menjelaskan, mekanisme pembebasan lahan di era Jokowi memang berubah. Perbedaan yang paling jelas adalah dari sisi mekanisme penilaian aset atau appraisal yang dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).

"Dulu itu sudah menggunakan appraisal pakai Perpres Nomor 36 2005 juncto 65 tahun 2006, masih mengunakan appraisal namun tidak perbidang, jadi zona. Misalnya di pinggir jalan itu zona 1 paling mahal, di belakangnya zona 2 dan seterusnya," terangnya saat berbincang dengan detikFinance beberapa waktu yang lalu.

Saat penilaian, dulu pemerintah daerah juga diikut sertakan. Misalnya untuk penilaian bangunan hingga tanaman berdasarkan SK Bupati setempat.

Sementara untuk saat ini mekanisme appraisal hanya dilakukan oleh KJPP. Penghitungannya tak lagi zonasi melainkan berdasarkan bidang perbidang. Mekanisme ini menjadikan penghitungan harga antara satu rumah dengan rumah lainnya bisa berbeda.

"Jadi tanah tetangga pun bisa beda nilainya. Misalnya yang satu tanahnya matang yang sebelahnya tanahnya masih harus diuruk ya harganya beda. Artinya tingkat keadilannya bisa dipertanggungjawabkan. Bangunan juga dinilai. Semua dihitung termasuk tanaman. Misalnya pohon mangga atau pohon pisang. Semua yang punya nilai ekonomis," terang Sri.

Tak hanya tanaman, proses appraisal saat ini juga memasukan unsur perhitungan non fisik. Artinya penilaian harga ganti rugi termasuk biaya-biaya proses administrasi seperti notaris bahkan hingga solatium.

Solatium merupakan penghitungan ikatan emosional terhadap rumah tersebut. Semakin lama warga menempati rumah tersebut, maka penilaian solatium akan semakin tinggi.

Dengan mekanisme yang baru tersebut, menurut Sri proses pemebasan saat ini jauh lebih baik. Dari sisi waktu juga lebih cepat. Tim appraisal ditargetkan bekerja hingga keluar harga hanya 30 hari.

Sementara untuk mekanisme lama proses appraisal membutuhkan waktu hingga 120 hari. Hal yang membuat perhitungan menjadi lebih lama adanya mekanisme penentuan perbidang yang keluar berdasarkan kisaran harga.

"Menurut saya sudah fair, dan saya beranggapan bahwa progresnya tinggi, nilai ganti rugi yaang bisa diterima masyarakat cukup besar. Kalau lihat perkembangan selama ini dari 2016 sampai sekarang sudah Rp 48 triliun yang dikeluarkan untuk pembebasan lahan. Itu nilai yang sungguh besar. Saya berpendapat warga menerima ganti rugi, artinya harga diterima," kata Sri.

Sekitar satu tahun yang lalu, lokasi kerja Tendi Hardianto sempat viral di media sosial. Dia dan timnya harus menghadapi ratusan orang yang mengancam membunuhnya dengan bambu runcing hitam.

Tendi adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk Tol Semarang-Batang di wilayah Kendal. Dia bertanggung jawab atas pembebasan lahan di ruas itu.

"Saat itu progres kita sedang ketinggalan. Di Batang dan Semarang pembebasan lahan sudah hampir 60%. Sementara Kendal baru 3%," kenangnya ketika berbincang dengan detikFinance beberapa waktu yang lalu.

Ketika ditugaskan untuk membebaskan lahan di Kendal, Tendi berpikir keras untuk mengejar ketertinggalan. Berbagai aturan hukum mengenai mekanisme pembebasan lahan dia pelajari.

Setelah penilaian aset atau appraisal yang dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) keluar, kemudian dilakukan sosialisasi, banyak warga yang masih menolak. Akhirnya dia memprosesnya melalui pengadilan dengan mekanisme konsinyasi.

Konsinyasi sendiri adalah proses ketika appraisal pembebasan lahan keluar, lalu belum ada kata sepakat dengan pemilik lahan maka diselesaikan melalui pengadilan. Pemerintah selaku pihak yang melakukan pembebasan lahan bisa menitipkan uang pembebasan lahan melalui pengadilan.

Setelah itu, sekitar bulan Ramadhan tahun lalu, Tendy dan timnya melakukan eksekusi. Belum sempat dilakukan, mereka disambut oleh ratusan warga Kendal dengan penuh amarah.

Seakan siap perang, mereka menyiapkan ratusan bambu runcing. Bambu yang disiapkan bukan sembarang bambu, melainkan bambu hitam yang disinyalir punya kekuatan magis.

"Jumlahnya besar hampir 500 orang, terpisah-pisah. Ada satu desa yang sangat frontal. Bambunya bukan bambu biasa, bambu hitam," kisahnya.

Bukan hanya itu, massa juga ada yang membawa senjata tradisional keris. Ada pula yang membakar kemenyan sambil membaca mantera di depan peralatan perang itu.

Ternyata masyarakat Kendal yang marah itu tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai penilai tanahnya atau appraisal. Menurut Tendi ada pihak luar yang melakukan mobilisasi warga.

"Jadi masyarakat diminta memberikan kuasanya dengan janji dapat harga yang tinggi. Padahal masyarakat sendiri tidak tahu dia dapat berapa. Saat kita kasih tahu bahwa sodara ini, tanah sekian, ganti ruginya sekian, mereka bilang kalau ganti rugi sekian saya pasti setuju. Jadi ada yang miss, mereka enggak tau harga. Akhirnya mau," kata Tendi.

Akhirnya sebagian besar masyarakat Kendal yang terkena gusuran tol itu sudah mengikhlaskan tanahnya. Saat ini hanya tersisa sekitar 10% masyarakat yang belum mengambil uang ganti ruginya di pengadilan.

PPK pun punya siasat-siasat sendiri untuk mengantisipasi gesekan degan warga yang terkena gusuran. Seperti PPK Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu atau Becakayu, Asih Nurdiyanti yang punya siasat cerdik.

Asih kebetulan mendapatkan tugas untuk membebaskan lahan di wilayah Pasar Gebrong, Prumpung, Cipinang Besar, Jatinegara. Lokasi ini terbilang cukup rawan, karena ada sekitar 800 rumah yang harus dibebaskan, belum lagi Pasar Perumpung yang mungkin ada premannya.

"Kita memang berhati-hati di Pasar Gembrong ini. Baru ngobrol sama lurahnya aja dia sudah khawatir akan ada demo," tuturnya kepada detikFinance, beberapa waktu yang lalu.

Asih dan timnya pun harus putar otak. Akhirnya muncul ide untuk menarik masyarakat setempat untuk menjadi pegawai kontrak untuk proyek tersebut.

Setiap proyek pembebasan lahan di Bina Marga dibentuk satuan kerja. Dalam satuan kerja itu juga dimungkinkan untuk menambah pekerja dengan lowongan bantuan teknis.

"Jadi ada anak dari keluarga yang terkena gusur kita tarik dari staff. Totak ada 7 orang yang kita tarik," terang Aasih.

Warga yang ditarik ke dalam satuan kerja diharapkan bisa mengerti cara kerja tim PPK. Sehingga mereka diharapkan menjadi semacam 'doube agent' baik untuk warga setempat maupun PPK.

Siasat itupun berhasil. Hingga saat ini tidak ada sedikit pun kabar penolakan dari warga sekitaran Pasar Gembrong. Lagi pula harga yang didapatkan warga cukup tinggi.

Menurut hasil penghitungan penilaian aset (appraisal) di wilayah Pasar Gembrong harga tertingginya bisa menembus Rp 20 juta per meter persegi. Harga itu tergantung kondisi bidang tanahnya.

Belakangan ini Menteri PUPR Basuki Hadimuljono ramai menjadi bahan perbincangan. Dia dipuji lantaran mau mengikhlaskan tanahnya untuk tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu atau Becakayu.

Tapi ternyata, Basuki bukan pejabat atau tokoh pertama yang rumahnya digusur akibat pembangunan tol. Mulai dari artis, tokoh agama, gubernur, anggota DPR hingga seorang Ibu Negara juga pernah digusur.

Kasubdit Pengadaan Tanah Direktorat Bina Marga Kementerian PUPR, Sri Sadono mengatakan, Ibu Negara yang tanahnya pernah digusur adalah Ani Yudhoyono.

Istri dari Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu harus mengikhlaskan tanahnya untuk pembangunan Tol Cimanggis-Cibitung. Sayangnya tidak diketahui berapa jumlah tanah yang terkena gusuran.

"Untuk Ibu Ani tidak luas si, hanya tanah bukan bangunan," ujarnya kepada detikFinance beberapa waktu yang lalu.

Menurut Sri, untuk urusan pembebasan lahan jika berhadapan dengan tokoh terkenal ataupun pejabat negara memang justru lebih mudah prosesnya.

"Kalau tokoh kan memiliki pendidikan tinggi, mereka paham dan mau merelakannya demi kepentingan negara," tambahnya.

Selain Ani, ternyata masih banyak tokoh lainnya yang juga pernah kena gusur. Dia mencontohkan seperti Mantan Gubernur Banten Rano Karno dan Ketua PBNU Said Aqil Siradj juga pernah kena gusur.

"Pak Aqil itu kena di Tol Desari, Pak Rano kalau tidak salah tol JORR. Belum lagi artis, pelawak, anggota DPR juga banyak. Mereka tidak masalah," terang Sri.

Hide Ads