Jakarta - Proyek Multi Purpose Deep Tunnel (MPDT) atau terowongan raksasa pernah dijagokan untuk menjadi penangkal banjir di Jakarta. Terowongan 'ajaib' ini tak hanya berfungsi sebagai penampung air, namun juga untuk penghubung jalan tol, dan sebagainya.
Proyek terowongan raksasa ini digagas sejak tahun 2007, di kala Gubernur DKI Jakarta periode 1997-2007 Sutiyoso masih menjabat. Pada tahun 2013, proyek yang tak ada kabarnya itu kemudian disuarakan kembali ketika Joko Widodo (Jokowi) masih menjabat sebagai Gubernur DKi Jakarta.
Namun, sejak tahun 2015, proyek tersebut tak terdengar lagi kabarnya. Lantas, bagaimana perkembangan proyek tersebut? Apakah pemerintah masih melanjutkan proyek itu?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Deep tunnel nggak ada rencana. Itu hanya wacana yang datangnya bukan dari PUPR," ungkap Direktur Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian PUPR Hari Suprayogi kepada detikcom, Minggu (5/1/2020).
Bahkan, menurutnya usulan tersebut hanya sebatas kajian. Sehingga, tak ada realisasi.
"Nggak (diteruskan). Itu usulan untuk dikaji saja," ujar Hari.
Ke halaman selanjutnya
Perlu diketahui, proyek multifungsi ini disebutkan mampu menangkal banjir saat musim hujan dan ketika musim kering bisa digunakan sebagai jalan tol. Bahkan, terowongan yang direncanakan berdiameter 12 meter ini juga akan terhubung dengan jalan tol lainnya, seperti jaringan tol Lingkar Luar Jakarta I (JORR I) dan dalam kota.
Terowongan yang digambarkan akan membentang sepanjang 23 kilometer (km) ini hanya akan ada 2 pintu keluar masuk kendaraan, yakni di Balai Kambang Condet Jakarta Timur dan di Tanjung Priok Jakarta Utara.
Pada tahun 2013, Jokowi menjelaskan terowongan tersebut bisa juga berfungsi untuk kabel telepon, kabel gas, dan kabel listrik. Jokowi berpendapat deep tunnel dibangun dalam tempo 4 tahun lebih.
"Selain mengatasi kemacetan, ini juga mengatasi banjir, ini yang disebut terowongan multifungsi," kata Jokowi di Gedung Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (3/1/2013).
Menteri Pekerjaan Umum (PU) saat itu, Djoko Kirmanto optimistis proyek ini dapat direalisasikan. Pasalnya, di negara-negara lain konsep terowongan multiguna ini sudah diterapkan. Contohnya seperti Malaysia, Amerika dan Jepang.
Proyek deep tunnel kemudian dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2013-2017.
Namun, sejak tahun 2015, proyek tersebut kembali 'mentah'. Deputi Menteri Koodinator Bidang Perekonomian bidang Infrastruktur Lucky Eko Wuryanto kala itu menyebut proyek tersebut tidak layak secara finansial. Cenderung mahal dan tidak akan begitu efektif mengatasi curah hujan yang tinggi di Jakarta dalam musim tertentu.
"Itu sih sebetulnya investasinya mahal. Kontribusinya untuk pengendalian banjir nggak banyak. Cuma bisa 5% sampai 10%," ungkap Lucky ditemui di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (12/2/2015).
Pada waktu itu, proyek raksasa diperkirakan membutuhkan dana Rp 26 triliun. Pemda DKI Jakarta sempat menghitung sanggup membiayai 70% atau Rp 18,2 triliun dari total proyek.
Lucky menuturkan bila proyek terowongan 'raksasa' memiliki efek yang masif atau tak hanya terpusat di satu daerah saja, maka proyek tersebut bisa layak dikerjakan.
"Lain misalnya kalau bisa mengendalikan banjir 50%, dan tidak di satu area saja. Kalau itu (deep tunnel) kelihatannya begitu (tidak feasible)," lanjutnya.
Menurut Lucky membangun proyek yang mahal namun tidak sebanding efeknya maka proyek itu bisa disebut tak layak. Lucky lebih memilih membangun proyek yang mahal namun sepadan dengan efek yang ditimbulkan seperti rencana Giant Sea Wall atau NCICD yang sudah menjadi program pemerintah pusat dan daerah.