Pelaksana pengadaan lelang proyek-proyek pemerintah sejatinya wajib memperhatikan ketentuan mengenai nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk barang dan jasa yakni 40%, dengan nilai maksimal Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) sebesar 15%.
Hal itu seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri dan Perpres No 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 18 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang / jasa Pengadaan Pemerintah.
"Dalam pengadaan barang dan jasa, faktor TKDN juga berpengaruh terhadap Harga Evaluasi Akhir dari penawaran Produk /Jasa. Sehingga memungkinkan penawar terendah belum tentu menjadi pemenang dalam pengadaan barang / jasa. Hal ini juga sangat penting disosialisasikan kepada panitia Pengadaan barang dan jasa dalam program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri," kata Project Manager PT Sucofindo Jon Elpin Purba di Jakarta, kemarin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Disebutkan, dalam aturan yang ada, produk dalam negeri wajib digunakan oleh pengguna produk dalam negeri yaitu Lembaga Negara seperti kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, lembaga pemerintah lainnya, satuan kerja perangkat daerah dalam pengadaan barang / Jasa apabila sumber pembiayaannya berasal dari APBN, APBD termasuk pinjaman atau hibah dari dalam atau luar negeri.
Selain itu, BUMN, badan Hukum lainnya yang dimiliki oleh Negara, BUMD dan Badan usaha swasta, yang dalam pengadaan Barang / jasa yang Pembiayaannya berasal dari APBN atau APBD, pekerjaannya dilakukan melalui pola Kerja sama antara pemerintah pusat dan/atau Pemerintah daerah dengan badan usaha: dan /atau menggunakan sumber daya yang dikuasai Negara
"Kewajiban dilakukan apabila Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) ditambah nilai Bobot manfaat Perusahaan (BMP) paling sedikit 40%." ujar Jon.
Diakui bahwa untuk mencapai angka TKDN memang tidak mudah apabila jika masih banyak menggunakan bahan baku impor di dalam produk tersebut. Penggunaan bahan baku impor tersebut biasanya karena bahan baku tersebut belum bisa diproduksi di dalam negeri. Tapi ada juga ketersediaan bahan dalam negeri tapi kurangnya informasi akan bahan baku tersebut sehingga tetap menggunakan bahan impor. Dan yang menjadi tantangan adalah ada bahan baku lokal tersedia, akan tetapi harganya mahal dan akhirnya menggunakan bahan Impor.
"Jika komposisi bahan baku dari luar negeri masih dominan, maka kemungkinan nilai TKDN bisa kurang dari 40% (Jika pehitungsan TKDN menggunakan Permenperin No.16 Tahun 2011) sehingga belum bisa jadi barang kategori Wajib. Untuk mencapai 40% maka dimungkinkan juga menambahkan Nilai TKDN dengan Bobot manfaat Perusahaan (BMP). Nilai maksimum BMP adalah 15% dengan demikian maka Nilai TKDN minimal adalah 25%. Dengan demikian maka Barang dengan TKDN + BMP 40% itu menjadi Wajib digunakan," paparnya.
Dijelaskan bahwa nilai BMP itu bisa dicapai antara lain dari Pemberdayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil melalui kemitraan dengan bobot 5% untuk setiap kelipatan Rp 500 juta maksimal 30%,
Selain itu, pemeliharaan kesehatan, keselamatan kerja dan lingkungan (K3L), dinilai berdasarkan kepemilikan sertifikat seperti OHSAS 18000/SMK3 dan ISO 14000,. Ada pula pemberdayaan masyarakat (community development) dengan bobot 3% untuk setiap kelipatan Rp250 juta maksimal 30%,, serta fFasilitas pelayanan purna jual dinilai berdasarkan biaya investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan dengan bobot penilaiannya adalah 5% untuk setiap kelipatan Rp 1 miliar dan malsimal 20%. (Nilai investasi dihitung secara akumulasi )
"Untuk biaya no 1 dan 3, dihitung berdasarkan pengeluaran dalam satu tahun buku," kata Jon.
Sertifikat TKDN dan BMP diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian, dan Lembaga Verifikasi Independen yang ditujuk oleh Menteri perindustrian untuk Penghitungan besaran nilai TKDN dan nilai BMP hingga saat ini ada 2, yakni PT. Surveyor Indonesia dan PT. Superintending Company of Indonesia (Sucofindo)
Bersambung ke halaman selanjutnya.