Pulau Bali bakal memiliki moda transportasi umum baru. Rencananya bakal ada pembangunan proyek kereta ringan alias LRT di Pulau Dewata.
Wacana ini nampak nyata, apalagi setelah pihak Korea Selatan mempersiapkan kajian studi kelayakan atau feasibility study. Kajian itu menjadi salah satu persiapan untuk menentukan jalannya proyek pembangunan LRT Bali.
Perlu diketahui, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi baru saja melakukan pertemuan dengan pihak Korean National Railway (KNR) dan Korea Overseas Infrastructure & Urban Development Cooperation (KIND). Dalam pertemuan itu, pembahasan soal pembangunan LRT Bali menjadi salah satu topik utama pembicaraan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budi Karya mengatakan studi kelayakan LRT Bali akan didanai oleh skema bantuan Official Development Assistance atau ODA. Sementara itu, konstruksi LRT Bali akan dibiayai lewat skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
"Studi kelayakan atau FS ini nantinya akan didanai melalui skema bantuan atau Official Development Assistance dari Korsel. Sementara untuk pendanaan konstruksinya akan dilakukan melalui skema KPBU," sebut Budi Karya dalam keterangannya, dikutip Kamis (1/6/2023).
Belakangan ini, rencana pembangunan LRT di Bali kembali mencuat. Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Bali IGW Samsi Gunarta mengatakan rencana pengembangan transportasi LRT sudah dibahas Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas.
Terakhir, pihak Pemprov yang sudah bekerja sama dengan pihak Korea Selatan sudah melakukan pre feasibility study atau analisis kelayakan proyek. Dari hasil studi itu, LRT Bali disebut butuh biaya pembangunan mencapai Rp 10 triliun.
"Yang jelas, dari hasil yang keluar perkiraan itu anggaran Rp 10 triliun, untuk pembiayaan infrastruktur dan prasarananya," ujar Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Bali IGW Samsi Gunarta.
Biaya Rp 10 T Cukup?
Menurut Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno untuk membangun sebuah jalur LRT, ada kemungkinan butuh uang sekitar Rp 50-500 miliar per kilometer. Untuk jalur at grade atau di darat butuh Rp 50 miliar, bila bentuknya elevated atau melayang maka per kilometernya butuh Rp 500 miliar atau 10 kali lipatnya.
"Kalau at grade itu sekitar Rp 50 miliar per kilometer, kalau elevated ya 10 kali lipatnya," kata Djoko ketika dihubungi detikcom.
Artinya bila dihitung-hitung dengan kemungkinan terbesar LRT Bali menggunakan jalur elevated maka uang Rp 10 triliun yang diprediksi dibutuhkan untuk membangun LRT akan mampu membangun jalur sepanjang 20 kilometer.
Namun itu baru jalurnya saja atau sisi prasarana layanan LRT Bali. Itu sudah termasuk rel, tiang beton, sinyal kereta, dan prasarana lainnya.
Sementara itu, untuk sarananya sendiri Djoko mengatakan diperkirakan harga satu rangkaian kereta LRT sekitar Rp 200 miliaran. Itu adalah spesifikasi kereta LRT produksi dalam negeri PT INKA.
"Ya kalau Rp 10 triliun cukup sih, mungkin belasan kilometer dengan 1 atau 2 kereta," sebut Djoko.
Namun rencana pembangunan LRT di Bali juga memiliki tantangan tersendiri. Baca di halaman berikutnya.
Tantangan Bangun LRT
Perlu diingat juga, membangun LRT di Pulau Bali tidak sepenuhnya mudah. Djoko menyebutkan rencana LRT Bali sana selama ini bagaikan jalan di tempat. Sudah ada sederet studi dilakukan, namun pembangunannya tak kunjung mulai.
Menurut Djoko rencana LRT Bali selama ini tak kunjung terlaksana karena kemauan Pemerintah Daerah kurang serius untuk menggarap proyek ini.
"Ini studi-studi aja terus kan. Wacananya udah lama, sejak sebelum pandemi itu udah ada. Ini Pemdanya kurang mau push, dia transportasi umum yang sudah ada saja tidak dimaksimalkan, kan sudah ada Metro Dewata, tapi sepi-sepi aja tidak dipromosikan juga," ungkap Djoko.
Hal itu membuat kesan seakan-akan bisnis transportasi umum kurang menguntungkan di Bali, jadi tidak ada investor yang mau serius membangun LRT di Pulau Dewata. Padahal, sebenarnya kebutuhan transportasi umum itu sangat besar di Bali.
"Itu kan pemerintahnya nggak berani ibaratnya menekan masyarakat untuk naik umum, nggak kayak di Jakarta. Sewa mobil, sewa motor tumbuh subur nggak ditahan. Selama nggak ada push strategy ya transportasi umum di sana sepi aja, padahal kebutuhannya ada," beber Djoko.
Di sisi lain, Ketua Forum Perkeretaapian dan Angkutan Antar Kota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana mengatakan biaya yang besar hingga ancaman mangkrak menjadi beberapa hambatan untuk membangun LRT di Bali.
Beberapa yang harus diperhatikan adalah kelayakan finansial, sumber pembiayaannya, ketersediaan lahan, hingga dampak lingkungan.
"Pembangunan LRT memerlukan kajian yang panjang dan mendalam. Terutama dari kelayakan finansial, ketersediaan lahan, pembiayaan, analisa dampak lingkungan dan dampak lalu lintas dan lainnya," ungkap Aditya kepada detikcom.
Potensi mangkrak juga disebutkan Aditya sebagai hambatan pembangunan LRT. Pasalnya, masa kontruksi LRT tidak sebentar dan biayanya juga bisa membengkak.
"Masalahnya, masa konstruksinya juga sangat panjang dan sering terkendala pembiayaan dan pengadaan lahan," sebut Aditya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang mengatakan urusan adat istiadat yang kental di Bali bisa menghambat pembangunan proyek. Nantinya, pihak kontraktor ataupun operator harus pintar-pintar menyelesaikan masalah dengan kearifan lokal.
"Potensi problem hanya pada masalah adat-istiadat setempat yang memang harus diselasaikan dengan kearifan lokal. Misalnya, berdasarkan mitologi agama Hindu mungkin ada larangan tertentu untuk pemilihan trase-trase relnya," ungkap Deddy dihubungi terpisah.
Deddy juga mengatakan bila LRT benar-benar dibuat akan menjadi pekerjaan rumah besar untuk mempromosikannya. Pasalnya, masih banyak masyarakat yang lebih suka menggunakan kendaraan pribadi, termasuk wisatawan di Bali.
"Kebiasaan masyarakat kita yang memang lebih suka menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan menggunakan angkutan umum juga bisa jadi problem," ujar Deddy.
(hal/das)