Pemerintah masih terus mendorong peningkatan indeks kemudahan dalam berusaha dan berinvestasi, khususnya dari segi aspek sertifikasi properti alias registering properti. Hal ini lantaran para investor yang mau berinvestasi di Indonesia harus merogoh kocek lebih dalam ketimbang investasi di negara tetangga.
Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN, Suyus Windayana. Ia menambahkan, pada 2021 tercatat indeks kemudahan berusaha, terutama dalam aspek registering property di Indonesia berada di peringkat 106.
"Ada beberapa negara di sekitar kita yang memiliki nilai yang hampir sama dengan kita, namun ada pula negara seperti Singapura dan Malaysia yang indeksnya cukup bagus," katanya, dalam Seminar Nasional bertema Penerapan Capital Gains Tax pada Peralihan Aset Tanah, dikutip Sabtu (23/9/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, salah satu hal penting dalam kemudahan berusaha adalah biaya yang dibutuhkan oleh badan hukum maupun perorangan yang akan berinvestasi. Sementara di Indonesia sendiri, nilainya terbilang tinggi.
"Misalnya ketika akan berinvestasi, mereka membutuhkan tanah, pajak yang harus dibayarkan untuk peralihan hak nilainya paling tinggi dibandingkan dengan negara lainnya di Asia Tenggara," jelasnya.
Di samping itu, Suyus juga menyebut biaya transaksi dalam kegiatan berusaha di Indonesia terbilang mahal bila dibandingkan dengan negara-negara tetangganya seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia.
"Singapura, Thailand, Malaysia itu nilai transaksinya di bawah 4%. Saya sangat berharap bagaimana kita bisa menurunkan persentase nilai-nilai transaksi itu melalui capital gains tax itu," tuturnya.
Melalui penetapan capital gains tax atau pajak atas keuntungan dalam peralihan aset tanah, ia berharap ke depannya dapat mengontrol harga tanah dan mengatasi spekulan tanah. Kebijakan ini pun akan ditetapkan lebih lanjut melalui serangkaian kajian.
Semenatar itu, Ketua Tim Kajian Capital Gains Tax pada Peralihan Aset Tanah, Yudha Purbawa mengungkapkan, pihaknya sudah melangsungkan observasi dan wawancara terhadap para PPAT, pemerintah daerah, dan Kantor Pertanahan (Kantah).
Ia juga menjelaskan, tujuan observasi ini ialah guna mengetahui gambaran sinergi antara pihak-pihak yang terlibat dalam pencatatan administrasi peralihan hak atas tanah. Adapun lokasi observasi meliputi Provinsi DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta.
Dari kajian yang dilakukan, Yudha menekankan bahwa perlu adanya sistem daring menyeluruh dalam suatu proses pencatatan peralihan hak atas tanah, termasuk dengan sistem perpajakannya.
"Selain itu, juga perlu adanya penyederhanaan persyaratan, data, serta form kelengkapan persyaratan jual-beli sampai dengan balik nama sertifikat. Juga perlu diperhatikan, terdapat perbedaan karakter setiap daerah, yang mana pastinya setiap daerah mempunyai kebijakan yang berbeda-beda," jelasnya.
(shc/fdl)