Memahami Kisruh Proyek Rempang yang Kini Dalam Penyelesaian

Memahami Kisruh Proyek Rempang yang Kini Dalam Penyelesaian

Samuel Gading - detikFinance
Kamis, 28 Sep 2023 12:17 WIB
Seorang pengelola persewaan fasilitas wisata menyusun perahu kano di kawasan pariwisata Pantai Melayu, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (16/9/2023).
 Pelaku pariwisata di pulau tersebut mengeluhkan sepinya pengunjung setelah terjadinya bentrokan warga dengan Tim Terpadu pada proses proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City Pulau Rempang pada Kamis (7/9/2023). ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/Spt.
Kawasan Pulau Rempang - Foto: ANTARA FOTO/Teguh Prihatna
Jakarta -

Kisruh proyek yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, menjadi salah satu persoalan yang kini ramai dibicarakan oleh publik. Konflik itu seperti segumpal benang kusut yang rumit. Berawal dari status tanah yang berujung pada kerusuhan antara aparat penegak hukum dan masyarakat yang sudah lama mendiami kawasan tersebut.

Mata publik awalnya tertuju ke Pulau Rempang pada Kamis 7 September 2023. Kala itu terjadi kericuhan antara warga Rempang dengan aparat penegak hukum gabungan TNI, Polri, dan Direktorat Pengamanan Aset Badan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).

Ratusan warga dari 16 kampung tua Pulau Rempang yang terhimpun dalam satu barisan baku hantam dengan aparat keamanan di lapangan. Situasi sangat kacau. Gas air mata ditembakkan.Yang jadi persoalan, berdasarkan catatan detikcom, tembakan dari air gas air mata sampai masuk ke dalam satu sekolah yang berdekatan lokasi kerusuhan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Warga bertujuan memblokade jalan agar tim gabungan tidak masuk ke wilayah mereka untuk mengukur lahan dan memasang patok untuk proyek Rempang Eco-City. Aksi terus berlanjut hingga Senin (11/9/2023) hingga Selasa (12/9/2023). Berdasarkan catatan detikcom, aparat mengamankan setidaknya 43 demonstran imbas kejadian tersebut.

"Polresta Barelang dan Polda Kepri berhasil mengamankan 43 orang yang diduga sebagai pelaku kekerasan terhadap petugas, melakukan perusakan pagar dan kaca gedung Kantor BP Batam, serta melakukan pelemparan terhadap petugas dalam aksi unjuk rasa yang dilakukan di Kantor BP Batam," kata Kapolresta Barelang, Kombes Nugroho Tri Nuryanto, dilansir detikSumut.

ADVERTISEMENT

Warga masih menolak kendati BP Batam sudah menjanjikan beberapa solusi. Di antaranya relokasi bagi masyarakat terdampak ke kawasan Dapur 3 Sijantung, Pulau Galang. Serta hunian tetap berupa rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta dengan luas tanah maksimal 500 meter persegi.

Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat), mengatakan warga menolak relokasi kampung karena sudah lama mendiami tempat tersebut. Pada Rabu (12/9/2023), Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro, pun meminta agar pemerintah melakukan pendekatan humanis untuk menyelesaikan sengketa agraria tersebut.

Semuanya berawal dari status lahan, cerita lengkap di halaman selanjutnya

Bermula Dari Status Lahan

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md lantas menjelaskan bahwa konflik antara warga dan aparat terjadi lantaran terjadi kekeliruan antara pemerintah pusat dan daerah soal pencatatan hak atas berbagai tanah yang bakal menjadi lokasi pembangunan Rempang Eco-City.

Mahfud mengatakan, bahwa surat keputusan (SK) tentang hak guna usaha (HGU) sudah dikeluarkan sejak 2001. Namun, ia menyebut kekeliruan terjadi ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan izin penggunaan tanah kepada pihak yang berhak.

"Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu bahwa tanah itu, Rempang itu, sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan, untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang, itu tahun 2001, 2002," terang Mahfud.

Persoalan berikutnya muncul ketika pemegang HGU ternyata tidak pernah melihat maupun menggarap izin yang diperoleh. Alhasil dalam perjalanannya, hak atas lahan pun terbit kepada penduduk desa. Hal inilah yang menjadi landasan utama masyarakat untuk bersikukuh atas lahan yang mereka huni sampai saat ini.

Mahfud mengatakan semua itu terjadi pada 2004. Penduduk merasa mempunyai hak sah untuk tinggal di lokasi tersebut yang ditegaskan dalam bentuk keputusan pemerintah. Namun di sisi lain ada pula izin HGU yang telah diberikan sejak 2001 agar Pulau Rempang dimanfaatkan sebagai lokasi Rempang Eco-City.

"Padahal SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah," imbuh Mahfud.

Tatkala investor masuk di Pulau Rempang pada 2022, persoalan ini membuncah. Sebab, status lahan HGU di Pulau Rumpang ternyata ditempati pihak lain. Karena itu Mahfud berkesimpulan bahwa kesalahan berada di pemerintah setempat dan KLHK.

"Maka kemudian diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat. Nah, lalu diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak karena investor akan masuk," jelasnya.

Lalu apa solusi dari pemerintah dalam mengatasi masalah ini? Cek halaman berikutnya

Solusi Dari Pemerintah

Pada Senin (25/9/2023), Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, mengatakan bahwa usai rapat bersama Presiden Joko Widodo, pemerintah memutuskan untuk menghadirkan solusi yakni merelokasi warga ke Tanjung Banun yang lokasinya tidak lebih dari 3 kilometer dari Pulau Rempang.

Bahlil merincikan, saat ini terdapat lima kampung yang terdampak proyek Rempang Eco-City tersebut. Kelimanya adalah Kampung Blongkek, Pasir Panjang, Simpulan Tanjung, Simpulan Hulu, dan Pasir Merah.

Ia menjamin, bahwa Tanjung Banun akan menjadi kampung percontohan yang tertata betul. Akan ada infrastruktur jalan, Puskesmas, air bersih, sekolah, dan pelabuhan perikanan untuk masyarakat yang direlokasi. "Akan kita buat sedemikian baik," ucapnya.

Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) periode 2015-2019 ini mengatakan, saat ini terdapat sekitar 300 dari total 900 kartu keluarga yang sudah mendaftar secara sukarela untuk dipindah dari Pulau Rempang.

Masyarakat akan diberikan penghargaan terhadap status lahan. Bahlil mengatakan, pemerintah akan memberikan alas hak 500 meter persegi dengan sertifikat hak milik. Selama masa tunggu, masyarakat juga diberi uang senilai Rp 1,2 juta per orang setiap bulannya, serta ketinggalan dengan uang kontrak rumah Rp 1,2 juta per kepala keluarga (KK).

"Kemudian rumah kita kasih tipe 45. Apabila ada rumah yang tidak tipe 45, dengan harga lebih dari 120 juta, itu akan dinilai KJPP nilainya berapa. Itu yang akan diberikan," jelasnya.


Hide Ads