Pemerintah Pangkas Jumlah Bandara Internasional, Begini Kata Pengamat

Pemerintah Pangkas Jumlah Bandara Internasional, Begini Kata Pengamat

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Sabtu, 04 Mei 2024 20:20 WIB
Deretan 17 Bandara Internasional di Indonesia
Foto: Pool
Jakarta -

Pemerintah telah mengurangi jumlah bandara internasional yang beroperasi di Indonesia dari 34 menjadi 17. Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri Nomor 31/2024 (KM 31/2004) tentang Penetapan Bandar Udara Internasional pada tanggal 2 April 2024 lalu.

Pengamat Transportasi Bambang Haryo Soekartono menjelaskan pembagian status bandara domestik dan internasional ditujukan untuk melindungi kedaulatan Indonesia, sekaligus untuk menghidupkan wilayah sekitarnya. Karena berkembangnya daerah maupun kegiatan usaha akibat traffic bandara, merupakan nilai ekonomis dari suatu bandara.

Ia mengatakan berdasarkan prinsip cabotage, maka keberadaan bandara internasional akan menjadi bandara hub yang akan didukung oleh bandara scope (pendukung) dan transportasi darat lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mengapa ini penting dilakukan, karena untuk memastikan bahwa pihak asing tidak dapat seenaknya memasuki wilayah Indonesia. Mereka hanya bisa masuk lewat bandara utama, dan untuk masuk ke wilayah lebih kecil, mereka harus memanfaatkan transportasi lokal. Tidak bisa mereka masuk dengan transportasi milik mereka sendiri," kata Bambang, Sabtu (4/5/2024).

Ia menegaskan dalam penentuan status bandara ini tentunya dibutuhkan kajian mendalam. Karena dalam pengembangan suatu bandara, yang harus diperhitungkan bukan bandaranya untung atau rugi tapi seberapa besar dampak bandara itu untuk wilayah sekitarnya dan pendapatan negara.

ADVERTISEMENT

"Sebagai contoh, Changi itu bandara transit. Tapi lihat bagaimana pemerintah Singapura mampu menjadikan Changi sebagai etalase dari negaranya. Akhirnya, berdatangan lah turis mancanegara ke Singapura. Bayangkan jika Provinsi Aceh itu bisa dijadikan etalase Indonesia dan dapat menjadi bandara transit internasional di karenakan posisinya yang sangat strategis sehingga bisa bersaing dengan bandara Singapore, Malaysia dan Thailand," ujarnya.

"Contoh lainnya, Bandara Charles de Gaulle Perancis yang menjadi bandara transit skala internasional. Dengan begitu Perancis menjadi negara dengan jumlah turis terbesar dunia, pernah menyentuh 250 juta wisatawan per tahun. Itu sangat luar biasa menurut saya, dan bandaranya bisa menjadi wadah promosi bagi Negara Perancis. Sangat disayangkan Kenapa Indonesia tidak bisa menjadi seperti itu," sambungnya.

Ia menegaskan pemerintah Indonesia seharusnya tidak menjadikan bandara kita untuk mencari keuntungan (Provit Oriented) Karena keuntungan yang di kejar adalah dampak dari pembangunan bandara tersebut dan maskapai yang hadir bisa memberikan dampak kemajuan ekonomi di wilayah itu, misal munculnya investasi, perdagangan, kegiatan usaha, hingga wisatawan yang datang ke tempat pariwisata bisa melalui bandara tersebut.

"Devisa negara yang masuk itu lah yang di kejar untuk menjadi keuntungan dari negara kita, Bukan keuntungan yang dikejar dari bandaranya. Coba kita lihat Malaysia, Jepang dan Amerika bandara dan maskapai nasionalnya banyak yang rugi tapi negaranya yang mendapatkan keuntungan yang begitu besar," ujar dia.

Sehingga, Politisi Gerindra ini menegaskan pemerintah harus benar-benar mengkaji status bandara internasional berdasarkan potensi yang ada di wilayah tersebut apakah berskala internasional atau tidak, bukan hanya atas dasar traffic yang ada sekarang.

"Kalau memang memiliki potensi skala internasional seperti Aceh, ya jangan dimatikan potensinya, karena Aceh mempunyai potensi sumber daya alam, gas, minyak bumi, emas, batubara dan lain-lain yang berskala internasional dan banyak di manfaatkan oleh negara lain seperti Jepang, Korea dan lain-lain." ujar alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember ( ITS ) Surabaya ini.

Juga potensi perkebunan cacao, kopi, sawit, pala, lada dan nilam (yang terbesar produknya di Indonesia) dan berskala ekspor dan memiliki skala internasional.Jadi kenapa Sultan Iskandar Muda di Aceh di hapus bandara internasionalnya. Apalagi mayoritas masyarakatnya muslim yang sangat taat dan berorientasi ke Arab Saudi (Mecca) untuk melaksanakan Haji dan Umroh.

"Saya mengharapkan pemerintah bisa mengkaji ulang penghapusan bandara internasional di Aceh. Untuk pengurangan bandara internasional dari 34 ke 17, saya sangat setuju karena akan meningkatkan peran maskapai domestik di wilayah dalam negeri itu lebih besar perannya sehingga devisa transportasi tidak masuk ke negara lain karena Indonesia menganut azas cabotade. Dengan adanya bandara internasional di kurangi maka keamanan negara menjadi lebih baik dari barang/manusia ilegal atau terlarang," tutupnya.

(fdl/fdl)

Hide Ads